Artikel ini akan membahas tentang Triple-Gain Sustainable Living Alternative: Optimalisasi Penerapan Kebijakan Blue Economy dalam Mencapai Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia.
Perubahan iklim atau climate change merupakan peristiwa alam yang belakangan ini telah banyak memberikan dampak yang signifikan bagi keberlangsungan seluruh makhluk hidup di Bumi. Khususnya pada sektor Triple Bottom Line (TBL), yaitu ekonomi, ekologi, dan sosial. Perubahan iklim pada umumnya disebabkan oleh pemanasan global (global warming), merebaknya penggunaan Gas Rumah Kaca (GRK), pembakaran batu bara yang berlebihan, deforestasi, masfinya pengeluaran gas metana yang berasal budidaya hewan ternak, penggunaan pupuk mengandung nitrogen di luar batas normal, dan lain sebagainya (European Comission, 2022).
Dampak perubaan iklim pada aspek sosial sebagaimana yang dilaporkan oleh World Health Organization (WHO), bahwasanya dalam rentang waktu 2030-2050, perubahan iklim diperkirakan akan menambah angka kematian sebesar 250.000 per tahunnya melalui penyakit seperti gangguan kardiovaskular, asma, malaria, disfungsi pernapasan, malanutrisi, diare dan lain-lain (World Health Organization, 2021). Di satu sisi, pada aspek ekonomi, perubahan iklim diperkirakan akan membuat Produk Domestik Bruto (PDB) dunia akan mengalami penurunan sebesar 18% pada tahun 2050 jikalau para stakeholders tidak mengambil aksi mitigasi nyata perubahan iklim (Marchant, 2021). Adapun pada aspek ekologi, perubahan iklim telah menyebabkan kekeringan berkepanjangan, intensitas cuaca ekstrem yang tidak beraturan, mencairnya es dan gletser di kutub, naiknya permukaan air laut, dan meningkatnya temperatur laut dan suhu Bumi (Global Climate Change, 2022).
Ekosistem laut merupakan salah satu sektor yang paling rentan terkena dampak dari perubahan iklim. Environmental Protection Agency (EPA) melaporkan bahwasanya terdapat lima dampak signifikan pada ekosistem laut sebagai akibat dari merebaknya perubahan iklim, yaitu (1) naiknya permukaan air laut, (2) makin panasnya temperatur permukaan air laut, (3) tenggelamnya pulau-pulau di pesisir pantai, (4) tsunami kecil, dan (5) asidifikasi air laut (Environmental Protection Agency, 2022). Mendukung pernyataan di atas, Marine Stewardship Council (MSC) memprediksi akan meningkatnya temperatur air laut hingga 1-4°C pada tahun 2100 (Marine Stewardship Council, 2022b). Meningkatnya suhu air laut menyebabkan konsentrasi air laut menjadi lebih asam sehingga dapat merusak terumbu karang, mendestruksi habitat bawah laut, dan migrasi ikan (Pink, 2018). Yang oleh karenanya, data dari World Wide Fund for Nature (WWF) Living Blue Planet tahun 2015 menunjukkan akan penurunan populasi laut hingga 49% dalam rentang waktu 1970-2012 (Zoological Society of London., 2015).

Laut merupakan sektor dengan kepemilikan potensi sumber daya alam yang melimpah dan memainkan peran yang krusial untuk keberlangsungan hidup manusia sehingga harus dijaga dari buruknya dampak perubahan iklim. Hal ini dikarenakan laut mengover 70% dari keseluruhan wilayah di Bumi, menyediakan
makanan, meregulasi iklimnya, dan menyuplai sebanyak 50-80% oksigen (National Ocean Service, 2021). MSC menambahkan bahwasanya laut mensirkulasi sekitar 83% dari keseluruhan karbon dan menyerap 93% gas emisi rumah kaca sejak tahun 1970 (Marine Stewardship Council, 2022a). Laut juga berfungsi sebagai rumah untuk 500.000 hingga 10 juta spesies biota laut (Costello et al., 2020). Di satu sisi, data dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memperkirakan kontribusi ekonomi sektor laut pada PDB dunia akan mencapai 3 triliun USD pada tahun 2030 (World Ocean Initiative, 2022)
Selain memainkan peran yang krusial dalam memerangi perubahan iklim, laut juga merupakan penyedia ataupun penyuplai makanan terbesar bagi kehidupan manusia. Dilaporkan bahwasanya terdapat sebanyak lebih dari 3 triliun orang bergantung kepada makanan hasil laut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WWF, 2022). Laut pada saat ini hanya mampu menyuplai 17% edible food dari keseluruhan jumlah biota laut yang meliputi ikan, invertebrata, tumbuhan laut, mamalia laut, dan burung laut (Costello et al., 2020; Rice et al., 2017). Kendati demikian, beberapa akademisi memprediksi bahwasanya laut dapat memaksimalkan potensinya untuk menyuplai edible food sebesar 36-74% atau yang setara dengan 21-44 juta ton pada tahun 2050 dengan kapasitas memberikan sebanyak 2.5 triliun manusia (Costello et al., 2020; Production et al., 2014).
Pada aspek food and nutrition, Food and Agriculture Organization (FAO) melaporkan bahwasanya ikan dan invertebrate laut memberikan 17% protein hewani untuk keseluruhan populasi bumi dan menyuplai sebanyak 20% protein hewani untuk lebih dari 3 juta orang (Rice et al., 2017). Adapun terkait produksi akuakultur, produksi ikan diestimasikan akan meningkat menjadi 100 juta ton pada tahun 2030 dan 140 juta ton yang mana berpotensi menyuplai protein hewani hingga 9.6 triliun pada tahun 2050 jikalau tidak mengalami gangguan pada ekosistem laut yang disebabkan oleh perubahan iklim (Hall et al., 2011; Rice et al., 2017; Waite et al., 2014).
Indonesia merupakan negara maritim dengan kepemilikan potensi ekonomi dan sumber daya alam laut yang melimpah. Indonesia memiliki wilayah perairan seluas 6.4 km2 atau 70% dari keseluruhan wilayahnya yang dihubungkan oleh 17.500 pulau-pulau dengan panjang garis akumulatif pantai sepanjang 81.000km2 (Indonesiabaik, 2018). Indonesia juga dijuluki sebagai negara mega biodiversity karena memiliki keanekaragaman hayati laut yang besar dengan menyimpan sebanyak 25.000 spesies tumbuhan dan 400.000 jenis hewan dan ikan laut (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2015). Pada sisi Indonesia’s marine economic potential, keuntungan yang dapat diraih dari hasil laut Indonesia per tahunnya adalah sebesar 1.33 trillion USD (Sari & Muslimah, 2020).
Mendukung data sebelumnya, World Bank melaporkan bahwasnaya industri laut Indonesia berkontribusi sebesar 27 triliun USD atau setara dengan 93% dari keseluruhan total APBN Indonesia, berpotensi menciptakan 7 juta lowongan kerja, dan menyuplai lebih dari 50% dari total protein hewani untuk masyarakat Indonesia (World Bank, 2021). Kendati demikian, dari sekian besar potensi pendapatan ekonomi dari sektor laut, Indonesia hanya baru bisa meraup keuntungan 291.8 triliun USD dari keseluruhan potensi ekonomi laut Indonesia yaitu 3.000 triliun USD (Sari & Muslimah, 2020).
Meskipun memiliki potensi keanekaragaman hayati dan pendapatan ekonomi yang melimpah sehingga mampu menciptakan ketahanan pangan atau food security, sektor laut Indonesia merupakan sektor yang berada dalam ancaman perubahan iklim yang mana dapat mendegradasi potensi laut yang dimiliki. WWF
melaporkan bahwasanya telah terjadi kenaikan permukaan air laut 1-3mm/tahunnya di lautan wilayah Asia Tenggara, khususnya Indonesia (Case et al., 2007). Kenaikan level permukaan air laut, meningkatnya suhu dan temperatur, dan asidifikasi air laut menyebabkan sebanyak 50% keanekaragaman hayati Indonesia berada dalam ancaman (Case et al., 2007).
Sebesar 88% dari total terumbu karang di Indonesia juga diperkirakan akan mengalami coral bleaching pada 30 tahun kedepan (Wilkinson, 2004). Terlebih lagi, terjadi penurunan jumlah populasi ikan, khususnya ikan skipjack tuna dan penyu yang signifikan sebagai akibat dari pengasaman dan meningkatnya temperatur air laut (Case et al., 2007; Loukos et al., 2003). Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) melaporkan terjadi kerusakan hutan bakau di Indonesia sebesar 18% atau seluas 3 juta hektare sebagai akibat dari deforestasi, pembangunan budidaya udang, dan pembuatan lahan kelapa sawit (Agus, 2020; WRI Indonesia, 2022).
Besarnya dampak beserta pengaruh perubahan iklim terhadap ekosistem laut, yang notabene menjadi sumber pendapatan ekonomi dan pemasok pangan terbesar nasional Indonesia, sudah sepatutnya menjadi perhatian prioritas para pemangku kebijakan (stakeholders) yang meliputi pemerintah, non-governmental organization (NGO), dan individu dalam rangka menanggulanginya. Oleh karenanya, dibutuhkan suatu terobosan baru berupa kebijakan pengelolaan sektor kelautan Indonesia yang berkelanjutan (sustainable) sehingga dapat mengoptimalkan potensi laut Indonesia secara aspek Triple Bottom Line (ekonomi, ekologi, dan sosial) yang diharapkan mampu menciptakan sustainbale living.
Dengan demikian, tulisan ini mencoba untuk mendeskripsikan penerapan kebijakan Blue Economy sebagai salah satu alternatif terbaik dalam mengakselerasi tercapainya sustainable living di Indonesia
Blue Economy as Triple-gain Sustainable Living Alternative
Blue Economy merupakan konsep pengembangan ekonomi yang didesain untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan kemakmuran sosial dengan secara bersamaan mengurangi kerusakan lingkungan dan degradasi ekosistem laut, mempraktikkan aktivitas rendah karbon, efisiensi sumber daya alam, dan inklusivitas masyarakat (Bari, 2017; United Nations Conference on Sustainable Development, 2016). Blue Economy menstimulasi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, rantai makanan yang berkelanjutan, menciptakan ketahanan pangan, mengatur dan menjaga lingkungan laut, menciptakan lapangan kerja, dan menemukan sumber terbaru untuk pembuatan energi, obat, makanan, mineral, dan
lain sebagainya (Ninawe, 2017). Singkatnya, Blue Economy menstimulasi pertumbuhan perekonomian nasional suatu negara melalui pengelolaan laut yang berkelanjutan, mengintegrasikan 3 sektor Triple Bottom Line yaitu, ekonomi, sosial, dan ekologi, sehingga output-nya diharapkan mampu meningkatkan perekonomian Indonesia pasca resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19, menyokong society
welfare, dan tetap menjaga ekosistem laut.
Blue Economy memiliki 2 prinsip fundamental dalam penerapannya. Pertama, efiensi alam (nature’s efficiency), yang berarti dalam penerapannya, Blue Economy memahami batas-batasan yang diberi oleh alam, bekerja sesuai dengan apa yang telah disediakan oleh laut dengan efisien, lebih menekankan kegiatan eksplorasi dalam memperkaya alih-alih mengeksploitasi yang menyebabkan degradasi sumber daya alam laut (Rani & Cahyasari, 2015). Kedua, Nir limbah (zero waste), yaitu bagaimana Blue Economy dalam pembangunan ekonominya di wilayah pesisir pantai tidak menyisakan limbah atau sampah yang dapat mencemari ekosistem laut (Rani & Cahyasari, 2015). Zero waste juga berarti bahwasanya tidak
ada limbah atau sampah dari satu sumber yang tidak bermanfaat bagi sumber yang lain, sehingga hal ini dapat membentuk siklus kehidupan bawah laut menjadi seimbang dan berkelanjutan (Rani & Cahyasari, 2015).
Dalam rangka menciptakan sustainable economic growth, Blue Economy secara umum mempraktikkan 4 konsep dalam mencapainya. Pertama, Blue Economy menciptakan produk-produk jangka panjang untuk menjaga ekosistem laut dengan output limbah dari produk-produk tersebut tidak membebani generasi
selanjutnya (Pauli, 2010). Kedua, whole-systems design, yaitu Blue Economy bekerja dengan mengedepankan konsep inklusivitas, komprehensif, dan keuntungan ganda (Pauli, 2010). Ketiga, market-oriented solutions, yaitu Blue Economy tetap berorientasi kepada pasar agar harga produk-produk laut tetap dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat (Pauli, 2010). Keempat, membagi ilmu (sharing knowledge) terkait pengelolaan ekosistem laut antara stakeholders dengan masyarakat pesisir pantai agar terciptanya kesatuan visi dan misi dalam meningkatkan perekonomian negara namun tetap menjaga kesehatan ekosistem laut (Pauli, 2010).
Blue Economy memiliki framework yang tersebar ke dalam 3 aktivitas agar mampu menstimulus peningkatan perekonomian suatu negara yang signifikan, yang di antaranya: (1) pemanfaatan sumber daya non-hidup, (2) menghasilkan sumber daya baru, dan (3) sarana penukaran sumber daya (Smith-Godfrey, 2016). Pada poin pertama, Blue Economy mencoba untuk menggali dan mengeksplorasi
potensi produk-produk non-hayati laut, seperti melakukan penambangan minyak dan gas alam di dasar laut atas respons dari pertumbuhan penduduk, tuntutan ekonomi, dan lain sebagainya (Smith-Godfrey, 2016). Pada poin kedua, yaitu bagaimana Blue Economy mencoba untuk men-generate sumber daya yang baru melalui alternatif energi terbarukan seperti penggunaan energi gelombang, energi angin laut, dan energi tata surya yang dengannya diharapkan mampu meminimalisasi kerusakan ekosistem laut dan menghemat pengeluaran negara dalam mengelola laut (Smith-Godfrey, 2016). Pada poin ketiga, Blue Economy berfokus kepada sarana transportasi laut, hal ini diperlukan agar mobilisasi dari global value chain dapat berjalan dengan baik, sehingga siklus dan hubungan kerjasama ekonomi, ekspor dan impor, via laut antar negara tetap stabil (Smith-Godfrey, 2016).
Blue Economy’s Sustainable Economic Growth Framework
Konsep pembangunan ekonomi, Blue Economy, sudah menjadi rencana strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia tahun 2015-2019. Hal ini diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2014 Tentang Ekonomi Biru, yang mencakup 4 hal, yang di antaranya: (1) inklusivitas komunitas, (2) efisiensi sumber daya alam laut, (3) nir limbah, dan (4) multiple added value (Mahardianingtyas et al., 2019). Melihat fokus area penerapan blue economy di Indonesia di atas, Penulis menilai bahwasanya salah satu penyebab belum optimalnya pengelolaan sektor kelautan sehingga menyebabkan low income ialah fokus dari kebijakan-kebijakan penyongsong economic growth di Indonesia yang masih di luar dari ranahnya. Oleh karenanya, diperlukan transformasi fokus dari Blue Economy guna dapat menciptakan economic growth yang berkelanjutan dengan income yang melimpah.
Konsep penerapan Blue Economy di Indonesia mengintegrasikan dan mengharmonisasi kinerja dan hubungan dari 5 sektor, yang di antaranya

Innovation and Technology
Hal ini ditujukan sebagai teknik-teknik mengelola perikanan atau marikultur agar bisa menjadi lebih efisien dan memproduksi ikan lebih banyak dari sebelumnya. Hal ini selaras dengan konsep yang ditawarkan Blue Economy yaitu melakukan pengelolaan perikanan namun tetap memperhatikan dan menjaga kelestarian ekosistem dan lingkungan. Dengan inovasi dan teknologi yang baru, diharapkan mampu memperkaya sumber daya alam dan memproduksi hasil laut yang melimpah (Sari & Muslimah, 2020).
Ecosystem and environment sustainability
Blue Economy memastikan agar pembangunan infrastruktur di pesisir pantai tidak membahayakan lingkungan sekitar. Segala bentuk tindakan yang mengancam kestabilitasan laut harus diganti dengan tindakan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Hal ini dimaksudkan karena sumber daya alam yang berasal dari laut merupakan produk yang terbatas atau limited sehingga tidak ada yang bisa menjamin eksistensi dari produk-produk hasil laut tersebut langgeng hingga ke masa depan (Sari & Muslimah, 2020).
Alignments in fishermen and fish farmers
Pengembangan ekonomi dari konsep Blue Economy tidak hanya ditujukan untuk meng-improve ekonomi makro, melainkan juga ekonomi mikro seperti perekonomian para nelayan dan para pembudidaya atau peternak ikan. pada ranah Blue Economy, improving the macro and micro economic is not the only focus, tetapi juga fokus terhadap kemakmuran atau prosperity masyarakat. Fishermen and fish farmers tidak hanya dibekali oleh kemampuan untuk menangkap, membudidayakan, berjualan, tetapi juga diajarkan bagaimana mereka mengembangkan usaha mereka dengan innovative techniques, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja yang baru (Sari & Muslimah, 2020).
Government policy
Dalam rangka agar bisa terlaksananya konsep Blue Economy, maka dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang berasal dari pemerintah. Hal ini ditujukan agar pengelolaan perikanan memiliki peraturan atau regulasinya tersendiri sehingga hal ini dapat menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan meminimalisasi segala bentuk tindakan yang merugikan biota dan ekosistem laut. Setidaknya terdapat 3 kebijakan terkait pengelolaan perikanan yang harus dibuat oleh pemerintah (Kementerian PPN & BAPENAS, 2014).
- Input control, yaitu kebijakan yang mengatur terkait fisheries management areas dan barang-barang yang diizinkan untuk mengambil ikan.
- Output control, yaitu regulasi yang mengatur terkait jumlah ikan yang boleh ditangkap dan pemanfaatan ikan.
- Technical measures, yaitu regulasi yang mengatur terkait metode-metode pengambilan ikan yang diizinkan (Sari & Muslimah, 2020).
Research and development
Kegiatan research and development merupakan upaya dalam mencari jalan keluar berupa innovative techniques yang selaras dengan prinsip yang ditawarkan Blue Economy. Hasil dari kegiatan research and development akan lebih lebih apabila penelitian dilakukan dengan asas terbuka, sehingga Fishermen and Fisher farmers mampu mengaplikasikan innovative techniques yang bisa menunjang perekonomian mereka sekaligus preserving the ecosystem and environment (Sari & Muslimah, 2020).
Baca lainnya: Indonesia Menerapkan Blue Economy, Sudah Saatnya?
Blue Economy’s Climate Change Strategic Implementation
Dalam pengaplikasiannya, Blue Economy memiliki 4 langkah dalam mewujudkan pengelolaan laut yang berkelanjutan dan pemberantasan perubahan iklim sesuai kaidah yang telah ditentukan SDGs.

Identifikasi permasalahan (issues identification)
Langkah paling fundamental dalam merincikan isu perubahan iklim apa yang menjadi masalah sehingga membutuhkan pengaplikasian Blue Economy.
Memfokuskan pada area tertentu (making focal areas),
Memprioritaskan area tertentu seperti efisiensi energi, keanekaragaman hayati laut, kelestarian ekosistem laut, pembangunan infrastruktur pesisir pantai yang ramah lingkungan, restorasi ekosistem, dan formulasi regulasi atau kebijakan (Sarker et al., 2019)
Melakukan Aksi
Melakukan aksi dalam kaidah Blue Economy harus selaras dengan SDGs poin ke-13, aksi iklim (climate action), dan poin ke-14, kehidupan di bawah laut (life below water).
- Mengidentifikasi masalah utama, merupakan cara yang paling utama agar proses
penerapan kebijakan Blue Economy dapat berjalan dengan lancar. - Memperbaiki edukasi dan kapasitas SDM, teredukasinya para nelayan dan masyarakat pesisir pantai akan membuat pengelolaan ekosistem laut menjadi terjaga dan berkelanjutan. Ketiga, pengaplikasian teknologi ramah lingkungan, teknologi pengelolaan ekosistem laut yang sesuai (proper) akan membuat tiga kali lipat keuntungan yaitu kelestarian lingkungan, pendapatan yang maksimal, dan pasokan pangan yang memadai.
- Pengaplikasian teknologi ramah lingkungan teknologi pengelolaan ekosistem laut yang sesuai akan membuat tiga kali lipat keuntungan yaitu kelestarian lingkungan, pendapatan yang maksimal, dan pasokan pangan yang memadai.
- Mengintensifikasi pendanaan manajemen laut, memprioritaskan penyaluran dana ke pengelolaan laut akan semakin membawa ke sustainable Blue Economy itu sendiri.
- Kelima, memperketat regulasi pengelolaan laut, output dari semakin ketatnya regulasi dan pengawasan pemerintah dalam mengelola laut adalah kondisi laut yang sehat, produktif, dan aman dari ancaman.
- Investasi sistem pengatur iklim.
- Pembuatan kebijakan, kebijakan dalam hal ini harus multi-level approaches, yaitu harus menyertakan kesatuan tujuan regional (Asia Tenggara), menjadikan agenda nasional, dan mengidentifikasi keanekaragaman isu yang berdampak kepada masyarakat.
- Kolaborasi dengan pihak luar.
- Melakukan riset terkait tata kelola laut, riset yang baik akan menciptakan suatu terobosan baru dalam memanajemen laut yang berkelanjutan (Sarker et al., 2019).
Mencapai tujuan
Melakukan langkah-langkah di atas dengan saksama akan mengarahkan kita kepada Sustainable Blue Economy yang memiliki output meminimalisasi dampak perubahan iklim dan terciptanya ketahanan pangan.
Kesimpulan
Indonesia merupakan negara maritim dengan kepemilikan potensi ekonomi dan sumber daya alam laut yang melimpah. Kehadiran akan perubahan iklim telah menyebabkan resesi dan menurunnya pendapatan ekonomi Indonesia yang signifikan, kesejahteraan masyarakat menurun, serta kondisi kesehatan ekosistem laut yang terancam. Oleh karenanya, dibutuhkan penerapan kebijakan Blue Economy, yaitu konsep pembangunan ekonomi nasional namun tetap memperhatikan aspek sosial dan ekologi sehingga tetap berorientasi kepada kemakmuran masyarakat dan tidak menyebabkan degradasi lingkungan. Terstrukturnya konsep Blue Economy dari prinsip fundamentalnya dan model pembangunan ekonominya diharapkan mampu memberikan triple-gain yaitu keuntungan secara ekonomi, sosial, dan ekologi. Dengan demikian, Penulis berharap agar para stakeholders segera mengoptimalkan dan memaksimalkan
penerapan kebijakan blue economy guna dapat mengakselerasi pencapaian pembangunan berkelanjutan di Indonesia, khususnya sustainable living.