Masalah kemiskinan dan kelaparan masih menjadi dua isu sentral di Indonesia yang tak kunjung menemukan titik terang. Terlebih lagi, prevalensinya yang kini kian diperburuk oleh dampak perubahan iklim. Ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi eksternalitas negatif menciptakan ruang bagi institusi nirlaba agar dapat meningkatkan taraf kehidupan komunitas rentan dan miskin. Konsep endowment fund yang diberdayakan oleh nirlaba Green Welfare Indonesia dapat dijadikan solusi suplementer dalam mengentaskan kedua isu kompleks ini.
Jeritan Sunyi
Perubahan iklim memperburuk prevalensi kelaparan dan kemiskinan dengan memberikan dampak langsung pada hasil pertanian dan kandungan nutrisinya, serta dampak tidak langsung pada daya beli masyarakat (Abeygunawardena, 2009). Hasil pertanian cenderung menurun sebagai respons terhadap suhu permukaan yang lebih tinggi, kelangkaan dan penurunan kualitas air, konsentrasi CO2 yang lebih tinggi di atmosfer, serta peristiwa ekstrem, misalnya gelombang panas, kekeringan, dan banjir (FAO, 2018). Kondisi ini bermakna aliran pendapatan yang menurun bagi petani1 dan keluarganya sehingga menimbulkan peningkatan angka kemiskinan yang signifikan, sekaligus menimbulkan kekurangan pangan yang berdampak pada peningkatan angka gizi buruk (Ruff, 2017).
Tidak hanya sebatas pada isu kuantitas, tetapi juga pada isu kualitas pangan dimana menurut Smith & Myers (2018), variabilitas iklim yang ekstrem juga berdampak atas penurunan kandungan nutrisi tumbuhan yang dibudidayakan dimana konsentrasi CO2 yang tinggi di atmosfer dapat menurunkan jumlah protein, zat besi, dan seng alami pada tanaman. Imbasnya, pada tahun 2050, diperkirakan terdapat tambahan 175 juta orang yang mengalami defisiensi seng dan tambahan 122 juta orang yang mengalami defisiensi protein. Dampak ini akan sangat dirasakan oleh masyarakat yang hidup dalam kemiskinan, terutama yang sangat bergantung pada tanaman sebagai sumber nutrisi harian. Penduduk miskin di Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara merupakan kelompok masyarakat yang paling berisiko dari kombinasi risiko defisiensi nutrien tersebut (Smith & Myers, 2018).
Lebih dari itu, curah hujan dan perubahan suhu yang tidak menentu juga memengaruhi kualitas dan keamanan dari hasil pertanian. Intensitas hujan yang terlalu tinggi dapat menginduksi pertumbuhan jamur yang menghasilkan racun, misalnya aflatoksin yang menimbulkan pengerdilan (stunting) pada anak-anak (Lombard, 2014). Berkaitan dengan daya beli masyarakat, rumah tangga termiskin, yakni pelanggan neto pangan pedesaan dan kaum miskin kota, merupakan kelompok masyarakat yang paling terkena lonjakan harga pangan dengan pengeluaran rerata masyarakat miskin untuk makanan mencapai 75 persen dari total pengeluaran mereka (Ruel, 2020). Dalam situasi yang bergejolak dan tidak pasti ini, dapat dipahami bahwa negara-negara berpenghasilan rendah sangat prihatin dengan ketahanan pangan mereka dan kapasitas mereka untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, terutama mengingat bahwa negara-negara berpenghasilan rendah dan kelompok rentan tidak dapat segera menyesuaikan diri dengan kondisi guncangan tiba-tiba (sudden shocks).
Kegagalan Pasar dan Peran Endowment Fund
Lebih lanjut, akar penyebab perubahan iklim yang tidak ditanggulangi menimbulkan fenomena kegagalan pasar. Hal tersebut dikarenakan keterlibatan eksternalitas negatif sehingga pengalokasian sumber daya yang semula efisien di (P, Q) menjadi inefisien di (Pa, Qa) sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 1. Pergeseran kurva penawaran ke kanan mencerminkan kondisi eksternalitas negatif atau biaya yang dikenakan atas orang lain di luar sistem pasar yang terjadi tidak ditanggulangi, dikarenakan kebijakan pajak karbon di Indonesia hingga kini belum terlaksana. Dalam hal ini adalah akar penyebab perubahan iklim sehingga tingkat harga menjadi lebih rendah, sedangkan kuantitas menjadi lebih tinggi (Prasetyia, 2013). Hal tersebut menyebabkan mekanisme pasar gagal dalam memperhitungkan seluruh biaya dan manfaat yang diperlukan dalam menyediakan (penawaran) maupun mengkonsumsi (permintaan) suatu barang yang terus menerus meningkatkan degradasi lingkungan. Maka dari itu, biaya sosial dan lingkungan dieksklusikan dari perhitungan biaya produksi yang sejatinya berfungsi sebagai “pajak alami” terhadap eksternalitas negatif.

(Design by Olahkarsa)
Oleh karena itu, pemerintah sebagai pihak sentral memiliki tanggung jawab untuk melakukan intervensi terhadap kegagalan pasar yang terjadi. Akan tetapi, peran pemerintah saja tidaklah cukup untuk mengatasi masalah tersebut. Hal ini dikarenakan proses internalisasi biaya sosial dan lingkungan ke dalam biaya produksi membutuhkan biaya penyerap guncangan (shock cost absorber) yang tinggi. Mengingat pergeseran kurva permintaan dari kanan (E4) (Pa, Qa) ke kiri (S+E5) (P, Q) menyebabkan harga menjadi lebih tinggi, sedangkan kuantitas menjadi lebih rendah (Gambar 1). Sehingga berpotensi untuk semakin mencederai kesejahteraan masyarakat miskin berpendapatan rendah dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka saat terjadi guncangan pasar (Azis et al., 2010). Oleh karena itu, peran pihak ketiga sebagai solusi suplementer, yakni institusi filantropi privat/nirlaba (non-profit) dapat mendayagunakan secara optimal fungsi intrinsik sosialnya untuk menghimpun, sekaligus menyalurkan dana dari masyarakat.
Upaya ini dimaksudkan agar mendorong masyarakat secara bertahap bertanggung jawab terhadap eksternalitas yang mereka timbulkan. Hal ini diharapkan dapat memutus rantai ketergantungan terhadap implementasi pajak karbon yang hendak diwujudkan oleh pemerintah di masa mendatang. Lebih lanjut, kesadaran dan inisiatif masyarakat juga dapat dipupuk sedini mungkin seiring dengan tuntutan zaman yang semakin mengarusutamakan aspek keberlanjutan (sustainability) di segala sendi kehidupan. Keuangan sosial dapat menjadi pilihan instrumen yang tepat bagi institusi nirlaba dikarenakan karakteristiknya yang inklusif bagi masyarakat untuk berpartisipasi kedepannya.
Salah satu instrumen keuangan sosial, yakni endowment fund dapat membantu dalam menyediakan barang publik dikarenakan karakteristiknya yang dekat dengan fungsi sosial, antara lain:
1) sumber dana berasal dari masyarakat dengan motivasi kebaikan;
2) aset/barang memiliki sifat non-rivalry dan non-excludable;
3) kemanfaatannya untuk semua kelompok, bukan pada kelompok Muslim saja;
4) berbentuk harta bergerak dan tidak bergerak berdasarkan UU Wakaf No.41/2004.
Endowment fund meningkatkan penawaran agregat (aggregate supply) karena memberikan kesempatan kepada perekonomian untuk menambah jumlah faktor produksi, misalnya lahan pertanian untuk meningkatkan kapasitas produksi hasil pertanian ataupun barang/fasilitas publik sejenis yang dapat mengentaskan kemiskinan dan kelaparan. Peningkatan aggregate supply ini akan mengubah ekuilibrium harga dan output dari titik (P0, Q0) menuju (P1, Q1) sehingga harga mengalami penurunan, sedangkan output mengalami peningkatan (Gambar 2). Hal yang demikian menjelaskan fungsi endowment fund sebagai instrumen pengendali harga sehingga dapat meningkatkan daya beli kelompok miskin dengan menurunkan harga pasar.

Studi Kasus Nirlaba Green Welfare Indonesia
Fungsi endowment fund sebagai barang publik dalam mengentaskan kemiskinan dan kelaparan ditunjukkan oleh program hidroponik berkelanjutan oleh institusi nirlaba (non-profit) Green Welfare Indonesia (GWF) yang melibatkan peran para pemuda sebagai “the helping hands”. Gerakan kaum muda sebagai “agen perubahan” ini diharapkan dapat mewujudkan tujuan ketahanan dan kemandirian pangan bagi komunitas rentan dan miskin melalui praktik pertanian yang berkelanjutan dengan mendirikan infrastruktur GWF Hydroponic Stations. Adapun skemanya digambarkan melalui ilustrasi berikut

Skema di atas menggambarkan hubungan antar pihak pendonor yang mendonasikan hartanya, untuk kemudian dikelola oleh pihak penghimpun dan pengelola dana pada suatu aset produktif sehingga manfaatnya dapat diterima oleh penerima manfaat (beneficiary) sampai aset seutuhnya terdepresiasi. Pihak penghimpun dan pengelola dana mengalokasikan sejumlah besar modal pada dua program, yaitu GWF Monthly Distribution Drives (MDD) dan GWF Hydroponic Stations (HS), serta sebagian lainnya dialokasikan sebagai biaya overhead pemeliharaan aset.
GWF Monthly Distribution Drives (MDD)
Masyarakat miskin dan rentan mendapatkan bantuan distribusi makanan berbasis nabati/tetumbuhan (plant-based meals), yakni makanan kaya akan sayur setiap bulannya yang dilengkapi pula dengan peralatan makan rumah tangga ramah lingkungan.
GWF Hydroponic Stations (HS)
Pemberdayaan infrastruktur hidroponik di komunitas dimaksudkan untuk menciptakan masyarakat mandiri dalam memenuhi pasokan pangan sehingga tujuan kemandirian pangan dapat tercapai.
Pada jangka pendek, masyarakat rentan dan miskin mendapatkan intervensi nutrisi yang bersifat pasif melalui penyuluhan praktik diet plant-based oleh tim GWF. Tujuannya untuk mengentaskan kelaparan di komunitas terdampak sehingga prevalensi gizi buruk dapat ditekan. Upaya ini relevan dengan sasaran GWF HS pada jangka panjang, yakni dengan kondisi gizi yang telah tercukupi pada jangka pendek, penduduk secara aktif mampu dalam mengoperasikan aset hidroponik secara mandiri sehingga rantai ketergantungan pangan sebelumnya dapat diputus yang mengarah pada kemandirian pangan komunitas. Melalui usaha kultivasi mandiri, kondisi ini sesuai dengan ilustrasi pada Gambar 2 yang menjelaskan peningkatan output agregat hasil pertanian (dari Q0 menjadi Q1) yang memutus rantai kelaparan dengan meningkatkan akses pangan, serta harga perolehan yang lebih rendah dari harga pasar (dari P0 menjadi P1) yang memutus rantai kemiskinan akibat keterbatasan daya beli.
Lebih lanjut, program intervensi nutrisi bertujuan untuk menanamkan perilaku konsumsi yang bertanggung jawab (responsible consumption) melalui diet berbasis tumbuhan/nabati (plant-based), serta mengurangi penciptaan emisi karbon dari setiap individu sehingga dapat mengurangi dampak perubahan iklim (GWF, 2021). Perilaku konsumsi ini memungkinkan individu untuk memiliki penjadwalan hidangan sehari-hari dengan komposisi sayur mayur yang lebih dominan dibandingkan dengan konsumsi daging. Produksi sayur mayur menghasilkan emisi karbon yang jauh lebih rendah dibandingkan daging merah dikarenakan penggunaan air dan pembukaan lahan baru yang jauh lebih rendah (GWF, 2020). Produksi daging merah bertanggung jawab atas penggunaan air bersih hingga 20–33 persen di seluruh dunia dengan 2.500 galon air dibutuhkan untuk menghasilkan 1 pon daging merah (1 pon = 0,5 kilogram) dari kebutuhan rerata air minum sapi sebanyak 45 miliar galon air setiap harinya (1 galon = 4,5 liter), serta pembukaan lahan hutan sebanyak 136 juta hektar dengan 1–2 hektar lahan hutan dibuka setiap detiknya (GWF, 2020).
Dalam rangka mempermudah penyuluhan mengenai perubahan iklim, tim GWF memiliki program Climate Education Initiatives (GWF CEI) yang bertujuan untuk membentuk kader-kader muda baru dari masing-masing komunitas tertuju yang sadar dan perhatian terhadap isu lingkungan hidup, serta memberikan dampak positif terhadap komunitasnya masing-masing di masa mendatang (GWF, 2022). Upaya ini digencarkan melalui lokakarya (workshop) secara langsung (peer-to-peer) terhadap penduduk setempat sehingga penyuluhan dapat berlangsung secara intim dan resilien. Tidak hanya itu, tim GWF juga membentuk kader-kader muda yang berasal dari Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan membangun relasi secara langsung bersama para petinggi dan siswa/i di sekolah melalui acara dialog lingkungan interaktif, seminar virtual, festival lingkungan, perekrutan terbuka anggota GWF, dan artikel edukasi rutin. Tujuan ini dimaksudkan agar para pemuda tersebut dapat melanjutkan kontribusi yang saat ini diberikan oleh tim GWF sendiri, sekaligus memiliki inisiatif kuat untuk terlibat dalam aksi iklim lainnya yang menjadi isu jangka panjang nasional.
Secara keseluruhan, melalui pemberdayaan praktik endowment fund, GWF berhasil untuk menorehkan kontribusi yang signifikan terhadap lingkungan yang digambarkan oleh tiga indikator utama, yakni pengurangan emisi karbon, penghematan pembukaan lahan baru, dan penghematan penggunaan air bersih, yang terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Tercatat per bulan Juli hingga Oktober 2021 lalu, secara berurutan, GWF berhasil mengurangi emisi CO2 hingga 3.003 kilogram (ekuivalen dengan perjalanan mobil sepanjang 11.850 kilometer), menghemat pembukaan lahan baru hingga 923 meter persegi (ekuivalen dengan 641,1 ton oksigen), dan menghemat penggunaan air bersih hingga 1.378.119 liter (ekuivalen dengan 34.476 kali mandi) (GWF, 2021). Hasil tersebut menunjukkan peningkatan dari periode sebelumnya per Juli hingga Oktober 2020 lalu, secara berurutan, pengurangan emisi karbon meningkat 119,8 persen, penghematan lahan hingga 120,2 persen, dan penghematan air bersih hingga 120,6 persen (GWF, 2020).
Pemodelan Sosial-Ekologi Social Ripple Effect (SRE) Institusi Nirlaba
Lebih lanjut, penorehan dampak lingkungan yang positif dengan pertumbuhan yang signifikan hingga di atas 100 persen membuktikan bahwa GWF mampu untuk memberdayakan praktik endowment fund secara produktif. Hal ini dapat digambarkan oleh model Social Ripple Effect (SRE) atau sebuah model sosial-ekologi komprehensif yang dapat memberikan percepatan terhadap perubahan sosial melalui bentuk modifikasi faktor-faktor sosial dan lingkungan yang memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku manusia (Social TrendSpotter, 2018). Model ini menunjukkan sinergi yang diperlukan untuk
menciptakan perubahan sosial secara sistemik sehingga dapat mengakomodasi penciptaan lingkungan yang mendukung perubahan perilaku dari masing-masing individu yang mengarah pada reaksi berantai yang merangsang perubahan sosial dalam lingkungan mereka (Bryan, 2021). Urgensi tindakan dari masing-masing individu diakui mengingat kapasitasnya yang secara simultan dapat menciptakan efek “bola salju (snowball)” yang memengaruhi orang lain di sekitarnya untuk memikirkan kembali tindakan atau keputusan yang diambilnya (Bryan, 2021).
Model sosial-lingkungan yang sepadan ditunjukkan oleh GWF dengan mengubah perilaku individu menjadi lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan berdasarkan perspektif mikro dan makro.
Perspektif mikro
Ditinjau melalui perilaku individual dan hubungan yang terjadi di antara mereka. GWF mempraktikkan endowment fund sebagai solusi dari pengentasan kemiskinan dan kelaparan yang direalisasikan melalui GWF MDD dan GWF HS yang menanamkan secara sadar perilaku konsumsi yang berkelanjutan melalui pola makan berbasis nabati (plant-based diet) kepada komunitas setempat sehingga membentuk individu yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan yang secara simultan saling bahu membahu dalam rangka menciptakan dampak lingkungan yang signifikan di lingkup internal mereka.
Perspektif makro
Ditinjau berdasarkan hubungan timbal balik kemasyarakatan, kader-kader yang sadar lingkungan dikukuhkan melalui upaya penyuluhan edukasi iklim di komunitas terdampak maupun menjalin relasi dengan para pemuda/i dari sekolah terdekat untuk berkontribusi kembali terhadap komunitasnya, serta mengajak para pemuda/i tersebut untuk terjun secara aktif dalam aksi iklim yang melibatkan isu lingkungan yang berbeda-beda dalam konteks masyarakat luas.

Kesimpulan
Pemanfaatan instrumen keuangan sosial endowment fund sebagai barang publik dapat menjadi solusi suplementer dalam menanggulangi dampak perubahan iklim dengan mendorong inisiatif dan tanggung jawab masyarakat untuk menginternalisasikan eksternalitas mereka melalui donasi berulang (recurring) pada institusi nirlaba. Praktik hidroponik yang dikembangkan oleh GWF menjadi sebuah bukti bahwa institusi nirlaba dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap komunitas secara berkelanjutan, misalnya dengan menciptakan tujuan kemandirian pangan pada jangka panjang. Upaya tersebut berimplikasi pada pemutusan jeratan rantai kemiskinan dan kelaparan yang digambarkan oleh peningkatan output dan penurunan harga agregat dalam perekonomian yang mengintervensi akses pangan dan daya beli. Lebih dari itu, pemodelan alami eko-sosial Social Ripple Effect (SRE) pada nirlaba juga memberikan penorehan dampak lingkungan yang positif sebagaimana pada kasus GWF.
Baca lainnya : Community Development (Pengertian, Aspek, Tujuannya)