Dalam menghadapi krisis iklim global, konsep green investment atau investasi hijau kini menjadi bagian tak terpisahkan dari agenda transformasi industri dan ekonomi. Seiring meningkatnya tekanan regulasi, tuntutan pasar, serta krisis lingkungan yang nyata, perusahaan tidak lagi memiliki banyak pilihan selain beradaptasi melalui pendekatan pembangunan yang rendah karbon dan berkelanjutan.
Green investment merupakan pilar utama untuk membangun daya saing industri di era transisi energi. Artikel ini mengulas bagaimana integrasi investasi hijau, baik dari sisi kebijakan, teknologi, maupun keuangan, menjadi solusi strategis yang harus diadopsi dunia usaha Indonesia.
Tekanan Regulasi Global Dorong Lonjakan Green Investment
Salah satu pendorong utama meningkatnya minat terhadap investasi hijau adalah perubahan lanskap regulasi internasional. Negara-negara maju telah mulai menerapkan kebijakan perdagangan yang menyertakan aspek karbon. Misalnya, Uni Eropa telah mengesahkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang akan berlaku penuh mulai 2026. Mekanisme ini akan mengenakan tarif karbon pada barang impor dari negara dengan regulasi emisi yang lebih longgar.
Bagi industri di Indonesia yang mengekspor baja, semen, pupuk, dan aluminium, sektor-sektor padat energi, implikasinya sangat serius. Tanpa strategi dekarbonisasi yang jelas, ekspor berisiko kehilangan daya saing. Perusahaan dituntut untuk memiliki sistem pemantauan dan pelaporan emisi yang transparan dan kredibel agar dapat terus bersaing di pasar global.
Laporan dari European Commission (2022) menekankan bahwa transparansi data emisi dan mekanisme pelaporan karbon akan menjadi kunci dalam perdagangan internasional. Ini mendorong perusahaan untuk mulai berinvestasi pada sistem monitoring emisi, pelaporan ESG, serta teknologi rendah karbon, semua yang masuk dalam skema green investment.
Tekanan regulasi ini membuka jalan menuju pembahasan aspek teknis yang tak kalah penting, yakni bagaimana inovasi teknologi berperan dalam membentuk struktur green investment yang efektif dan efisien.
Inovasi Teknologi Menjadi Pilar Teknis dalam Green Investment
Green investment tidak bisa dilepaskan dari adopsi teknologi yang memungkinkan efisiensi energi dan pengurangan emisi. Beberapa teknologi yang paling relevan dalam konteks dekarbonisasi industri antara lain:
1. Carbon Capture and Storage (CCS)
Teknologi ini memungkinkan penangkapan emisi CO2 dari fasilitas industri dan penyimpanannya di bawah tanah.
2. Industrial Electrification
Menggantikan proses berbasis bahan bakar fosil dengan sistem berbasis listrik bersih, termasuk penggunaan motor listrik efisien.
3. Hydrogen Fuel
Penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar bersih di sektor industri berat dan transportasi.
4. Process Optimization dengan AI dan IoT
Mengurangi inefisiensi proses industri dengan sensor dan analitik data untuk mengurangi konsumsi energi dan limbah.
5. Energi Terbarukan (Renewable Energy): Pemasangan panel surya, turbin angin, atau pemanfaatan energi panas bumi sebagai sumber energi utama.

Menurut laporan McKinsey & Company (2021), teknologi ini berpotensi memangkas emisi global sebesar 40% pada tahun 2050 jika diadopsi secara masif. Namun, investasi awal yang tinggi menjadi tantangan, sehingga dibutuhkan skema pembiayaan yang mendukung agar teknologi tersebut dapat diimplementasikan secara luas.
Dari sisi teknologi, tantangan utama terletak pada akses pembiayaan yang memadai dan berkelanjutan. Untuk itu, mari kita cermati bagaimana sistem keuangan hijau memberikan ruang bagi perluasan green investment.
Infrastruktur Keuangan Hijau: Instrumen Green Investment yang Semakin Terjangkau
Pasar keuangan global telah menyesuaikan diri dengan kebutuhan keberlanjutan. Saat ini, green bonds, sustainability-linked loans, dan ESG-aligned equity menjadi instrumen utama dalam investasi hijau. Indonesia sendiri telah menerbitkan beberapa obligasi hijau negara (green sukuk) sejak 2018, dengan total nilai mencapai lebih dari USD 2 miliar hingga 2023.
Green bonds diterbitkan untuk mendanai proyek-proyek seperti energi terbarukan, efisiensi energi, transportasi bersih, dan pengelolaan limbah. Lembaga-lembaga pembiayaan multilateral seperti World Bank dan Asian Development Bank (ADB) juga menyediakan blended finance yang mengombinasikan dana hibah dan pinjaman lunak untuk menurunkan risiko investasi hijau.
Climate Bonds Initiative (2023) mencatat bahwa penerbitan green bonds global telah mencapai USD 575 miliar pada tahun 2022. Angka ini menunjukkan tren positif dan peluang besar bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk mengakses pendanaan proyek hijau.
Namun, akses ke instrumen ini tetap membutuhkan kesiapan administratif dan teknis dari perusahaan. Maka dari itu, penting bagi pelaku usaha untuk memperkuat kapasitas internal mereka, yang akan kita bahas pada bagian berikutnya.

Baca lainnya: Pentingnya Pembiayaan Berkelanjutan Bagi Masa Depan Ekonomi Indonesia
Membangun Kapasitas Internal: Manajemen Emisi dan Pelaporan ESG
Untuk mendapatkan akses ke green investment, perusahaan harus menunjukkan komitmen nyata terhadap praktik keberlanjutan melalui pengelolaan emisi dan pelaporan ESG yang kredibel. Ini memerlukan adopsi standar global seperti:
1. GHG Protocol
Untuk menghitung emisi dari Scope 1 (langsung), Scope 2 (tidak langsung dari energi), dan Scope 3 (rantai pasok).
2. Science Based Targets initiative (SBTi)
Untuk menetapkan target pengurangan emisi yang sejalan dengan Perjanjian Paris.
3. GRI Standards dan ISSB Framework
Untuk pelaporan keberlanjutan yang lebih terstandarisasi dan terintegrasi.
Pelaporan ini membantu perusahaan dalam mengidentifikasi risiko iklim dan peluang perbaikan operasional. Di banyak negara, pelaporan ESG kini menjadi syarat wajib dalam pencatatan saham dan akses pembiayaan. Namun, integrasi pelaporan ini hanya akan efektif jika didukung oleh strategi bisnis jangka panjang yang konsisten. Mari kita lihat bagaimana green investment bisa masuk ke dalam inti model bisnis perusahaan.
Integrasi Green Investment ke Dalam Strategi Bisnis Perusahaan
Green investment tidak boleh hanya berhenti di proyek-proyek inisiatif, melainkan perlu menjadi bagian dari strategi jangka panjang perusahaan. Hal ini mencakup perubahan model bisnis, transformasi rantai pasok, hingga inovasi produk dan layanan.
Beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain:
- Diversifikasi produk berbasis energi bersih dan material ramah lingkungan.
- Optimalisasi operasional untuk efisiensi energi dan sumber daya.
- Kemitraan dengan startup teknologi hijau untuk mempercepat inovasi.
- Menerapkan circular economy dalam rantai pasok untuk mengurangi jejak karbon.
Dengan integrasi ini, green investment akan menciptakan nilai bisnis yang berkelanjutan dan membuka peluang baru di pasar domestik maupun internasional.
Transformasi ini akan lebih efektif jika ditopang oleh kebijakan dan ekosistem nasional yang mendorong perubahan sistemik. Mari kita tutup pembahasan ini dengan melihat peran negara dalam mempercepat green investment secara nasional.
Mendorong Green Investment Lewat Kebijakan dan Ekosistem Nasional
Pemerintah Indonesia telah mengembangkan berbagai inisiatif untuk mempercepat adopsi green investment. Di antaranya:
1. Taksonomi Hijau (OJK, 2022)
Taksonomi Hijau adalah sistem klasifikasi yang disusun oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengidentifikasi sektor ekonomi dan aktivitas usaha yang dapat dikategorikan sebagai berkelanjutan secara lingkungan. Tujuannya adalah memberikan pedoman bagi pelaku usaha, investor, dan lembaga keuangan dalam menilai apakah suatu kegiatan ekonomi berkontribusi terhadap upaya perlindungan lingkungan. Taksonomi ini menjadi dasar bagi pengembangan produk keuangan berkelanjutan, seperti green bonds, serta mempercepat aliran dana ke sektor-sektor ramah lingkungan. Versi awal berfokus pada 919 sektor/sub-sektor, termasuk energi, pengelolaan air, pertanian, transportasi, dan manufaktur. Ini juga mendukung komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan Paris Agreement.
2. Kebijakan Transisi Energi
Kebijakan ini menetapkan arah jangka panjang Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan beralih ke energi bersih. Target utama dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) adalah mencapai bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025 dan net-zero emission pada tahun 2060. Strateginya mencakup pembangunan pembangkit listrik EBT (PLTS, hidro, panas bumi), konversi pembangkit batubara ke co-firing biomassa, serta pengurangan subsidi bahan bakar fosil secara bertahap. Transisi ini juga akan diiringi penguatan regulasi dan insentif untuk investasi hijau, termasuk skema feed-in tariff dan renewable portfolio standard (RPS).
3. Sistem Perdagangan Karbon Domestik
Dikembangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama OJK, sistem ini bertujuan menciptakan mekanisme pasar untuk mendorong penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor industri. Sistem ini memungkinkan entitas bisnis yang emisinya melebihi ambang batas untuk membeli sertifikat emisi dari entitas lain yang berhasil menurunkan emisi lebih banyak. Saat ini, Indonesia tengah melakukan uji coba sistem ini, diawali dengan sektor pembangkit listrik dan akan diperluas ke sektor industri lainnya seperti semen, pupuk, dan pulp & paper. Sistem perdagangan karbon domestik ini akan menjadi insentif baru yang membuat green investment semakin relevan secara finansial bagi pelaku usaha.
Dukungan ini akan mempercepat pergeseran modal dari sektor intensif karbon ke proyek-proyek hijau. Namun, agar dampaknya maksimal, diperlukan harmonisasi kebijakan, pelatihan SDM, serta partisipasi aktif dari dunia usaha dan masyarakat sipil.
Dengan kolaborasi lintas sektor dan visi jangka panjang, green investment dapat menjadi fondasi transformasi ekonomi Indonesia menuju masa depan yang rendah karbon, tangguh, dan inklusif.
Ingin memahami lebih lanjut bagaimana green investment bisa diterapkan dalam strategi bisnis kamu? Jangan lewatkan Indonesia Corporate Sustainability Outlook (ICSO) 2025 dengan tema:
📌 “Advancing Indonesia’s Green Economy with Sustainability Innovations”
🗓 24 Juli 2025
📍 The Sultan Hotel & Residence, Jakarta
Dapatkan tiket melalui tautan berikut 👉🏻 icso.olahkarsa.com

Referensi
- Climate Bonds Initiative. (2023). Annual Green Bond Market Report
- European Commission. (2022). Carbon Border Adjustment Mechanism
- McKinsey & Company. (2021). Net-Zero Transition: Industry Pathways
- OJK. (2022). Taksonomi Hijau Indonesia
- World Bank. (2023). Mobilizing Private Sector for Climate Action