Transformasi ekonomi hijau bukan hanya pilihan, tetapi keharusan bagi Indonesia jika ingin mewujudkan Visi Indonesia 2045, menjadi negara maju, adil, dan berkelanjutan. Dengan ancaman perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan tantangan sosial-ekonomi yang semakin kompleks, Indonesia membutuhkan pendekatan pembangunan baru yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi sekaligus pelestarian lingkungan.
Dalam artikel ini, kita akan membahas mengapa transformasi ekonomi hijau sangat krusial dalam mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045, serta bagaimana langkah-langkah strategis dapat diambil dari sekarang.
Apa Itu Ekonomi Hijau?
Selama beberapa dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam dan ekspansi industri konvensional. Pendekatan ini memang memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi juga meninggalkan jejak ekologis yang besar, seperti deforestasi, polusi udara dan air, hingga menurunnya kualitas tanah dan keanekaragaman hayati. Menurut Laporan World Bank, kerusakan lingkungan di negara berkembang dapat mengakibatkan kerugian ekonomi hingga 10% dari PDB mereka.

Sementara itu, ekonomi hijau hadir sebagai pendekatan baru yang menggabungkan pertumbuhan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial. Dalam definisinya, United Nations Environment Programme (UNEP) (2011) menyebut ekonomi hijau sebagai pembangunan yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sembari secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi. Dengan kata lain, ekonomi hijau adalah upaya menyelaraskan pertumbuhan dengan keberlanjutan jangka panjang.
Visi Indonesia 2045: Lebih dari Sekadar Pertumbuhan Ekonomi
Visi Indonesia 2045 merupakan dokumen strategis yang dirancang oleh Kementerian PPN/Bappenas untuk mengarahkan pembangunan nasional dalam jangka panjang. Beberapa sasaran utama dari visi ini antara lain adalah menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari lima kekuatan ekonomi dunia, meningkatkan pendapatan per kapita hingga mencapai USD 23.000–30.000, menurunkan tingkat kemiskinan ekstrem hingga nol persen, serta memperkuat ketahanan lingkungan hidup dan energi.
Namun, pertumbuhan ekonomi sebesar itu tidak akan berarti jika tidak dibarengi dengan pendekatan yang ramah lingkungan. Tanpa transformasi hijau, upaya mencapai Visi Indonesia 2045 justru dapat memperparah krisis lingkungan dan ketimpangan sosial yang semakin tajam. Oleh karena itu, ekonomi hijau menjadi fondasi penting dalam membangun peradaban Indonesia masa depan yang tangguh terhadap perubahan iklim, efisien dalam penggunaan sumber daya, serta adil secara sosial.
Alasan Mengapa Ekonomi Hijau Penting untuk Visi Indonesia 2045
Sebelum memahami bagaimana ekonomi hijau menjadi kunci strategis bagi Visi Indonesia 2045, penting untuk menelaah terlebih dahulu berbagai alasan mendasar yang menjadikan transformasi ini sangat relevan dan mendesak. Penerapan ekonomi hijau tidak hanya menjawab tantangan lingkungan, tetapi juga membuka peluang besar dalam aspek sosial dan ekonomi yang saling terkait.
Dalam konteks Indonesia yang tengah mengalami tekanan akibat krisis iklim, ketimpangan sosial, serta kebutuhan untuk menjaga daya saing di pasar global, pendekatan pembangunan yang lebih berkelanjutan menjadi mutlak diperlukan. Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa transformasi ekonomi hijau harus menjadi prioritas utama dalam perjalanan Indonesia menuju masa depan yang inklusif dan berdaya tahan.
1. Menghindari Biaya Sosial-Ekologis dari Pertumbuhan Konvensional
Model ekonomi berbasis ekstraksi sumber daya (resource-intensive) telah menyebabkan deforestasi, polusi, dan kerusakan ekosistem. Laporan World Bank menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan menyebabkan kerugian ekonomi global hingga 10% dari PDB di negara berkembang.
Tanpa perubahan paradigma, Indonesia berisiko menghadapi:
– Krisis air dan pangan
– Bencana iklim yang semakin parah
– Hilangnya produktivitas lahan dan sektor agrikultur
2. Memperkuat Daya Saing Ekonomi Global
Permintaan pasar internasional terhadap produk ramah lingkungan semakin tinggi. Dengan menerapkan prinsip ekonomi hijau, Indonesia dapat:
– Menarik investasi berkelanjutan (green investment)
– Memasuki pasar ekspor berbasis Environmental, Social and Governance (ESG)
– Memperkuat reputasi global dalam praktik bisnis berkelanjutan
3. Menciptakan Lapangan Kerja Baru dan Berkualitas (Green Jobs)
Menurut International Labour Organization (ILO), transisi menuju ekonomi hijau berpotensi menciptakan 24 juta pekerjaan baru secara global pada tahun 2030. Sektor energi terbarukan, pertanian organik, dan konstruksi hijau menjadi sumber pekerjaan masa depan yang lebih ramah lingkungan dan manusiawi.
4. Menjawab Tantangan Perubahan Iklim dan Komitmen Net-Zero Emission 2060
Indonesia telah menyatakan komitmen untuk mencapai net-zero emission pada 2060. Transformasi ekonomi hijau adalah satu-satunya jalan realistis untuk mencapai target ini.
Beberapa langkah penting:
– De-karbonisasi sektor energi dan industri
– Rehabilitasi hutan dan ekosistem
– Pengurangan emisi dari sektor pertanian dan transportasi

Tantangan untuk Transformasi Ekonomi Hijau
Meski arah kebijakan nasional menunjukkan komitmen awal terhadap keberlanjutan, misalnya melalui Indonesia Vision 2045, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), serta Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon, namun jalan menuju transformasi ekonomi hijau masih penuh tantangan multidimensi. Tantangan-tantangan ini tidak hanya berasal dari aspek kebijakan, tetapi juga menyangkut struktur ekonomi, kapasitas institusional, hingga kesiapan masyarakat dan pelaku usaha.
1. Fragmentasi Kebijakan dan Kelembagaan
Salah satu tantangan utama adalah fragmentasi kebijakan lintas sektor. Banyak kebijakan pembangunan dan investasi yang masih belum sepenuhnya selaras dengan prinsip ekonomi hijau. Misalnya, masih terdapat subsidi energi fosil yang cukup besar serta praktik perizinan lahan yang tumpang tindih antara sektor kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Laporan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mencatat bahwa ketidakkonsistenan kebijakan dapat melemahkan insentif terhadap investasi hijau dan memperlambat dekarbonisasi.
2. Rendahnya Kesadaran dan Kapasitas Pelaku Usaha
Selain itu, masih banyak pelaku usaha, terutama dari kalangan UMKM dan sektor informal, yang belum memiliki pemahaman mendalam tentang praktik usaha berkelanjutan. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, lebih dari 90% UMKM Indonesia belum memiliki sistem pengelolaan lingkungan yang memadai. Rendahnya akses terhadap pembiayaan hijau, teknologi ramah lingkungan, dan informasi pasar menjadi kendala utama transformasi sektor ini.
3. Keterbatasan Pembiayaan dan Infrastruktur Hijau
Dari sisi pembiayaan, gap pendanaan untuk proyek-proyek hijau masih sangat besar. Menurut Green Climate Fund Readiness Report Indonesia, Indonesia membutuhkan sekitar USD 281 miliar investasi hijau hingga 2030 untuk mencapai target pengurangan emisi nasional (NDC). Namun, saat ini, pendanaan publik dan swasta untuk proyek-proyek rendah karbon masih belum optimal. Hambatan struktural seperti risiko proyek yang tinggi, rendahnya literasi ESG, serta keterbatasan instrumen keuangan hijau seperti green bond dan carbon pricing turut memperlambat realisasi investasi.
4. Inovasi Teknologi dan Riset Masih Terbatas untuk Ekonomi Hijau
Transformasi ekonomi hijau membutuhkan dukungan teknologi yang inovatif, mulai dari energi terbarukan, pertanian presisi, sistem daur ulang canggih, hingga digitalisasi sektor industri. Namun, ekosistem inovasi dan riset hijau di Indonesia masih terbatas. Laporan dari Asian Development Bank menunjukkan bahwa investasi R&D Indonesia masih di bawah 1% dari PDB, jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Timur. Kolaborasi antara pemerintah, universitas, dan sektor swasta dalam mengembangkan teknologi hijau harus ditingkatkan secara signifikan.
5. Ketimpangan Sosial dan Risiko Transisi Ekonomi Hijau
Transisi ekonomi hijau membawa risiko sosial besar yang harus dikelola secara adil agar tidak menimbulkan ketimpangan baru. Daerah yang bergantung pada industri fosil seperti pertambangan dan PLTU berisiko kehilangan pekerjaan dan menghadapi guncangan ekonomi. Tanpa kebijakan adil dan inklusif, transformasi hijau bisa memperparah ketimpangan antarwilayah serta kesenjangan sosial di masyarakat. Pemerintah perlu merancang kompensasi, pelatihan ulang pekerja, dan sistem jaminan sosial dalam strategi transisi ekonomi hijau Indonesia.
Jalan ke Depan: Kolaborasi, Inklusi, dan Akselerasi Ekonomi Hijau
Untuk menghadapi semua tantangan tersebut, diperlukan pendekatan sistemik dan kolaboratif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, pemerintah, dunia usaha, akademisi, masyarakat sipil, hingga komunitas lokal. Pemerintah perlu memperkuat reformasi kebijakan fiskal untuk mengalihkan subsidi dari sektor yang merusak lingkungan ke program hijau yang inklusif. Dunia usaha harus mulai mengadopsi prinsip ESG dalam rantai pasoknya. Sementara itu, masyarakat sipil dan media memiliki peran penting dalam membangun literasi publik dan mendorong akuntabilitas.
Investasi pendidikan lingkungan dan keterampilan hijau perlu dipercepat demi mendukung pertumbuhan ekonomi hijau yang inklusif dan berkelanjutan. Infrastruktur hijau seperti energi bersih, transportasi publik, dan sistem limbah terpadu harus dikembangkan secara merata di seluruh wilayah Indonesia.
Teknologi dan inovasi harus dirancang agar bisa diakses seluruh kelompok sosial, termasuk masyarakat adat, UMKM, dan komunitas lokal. Indonesia punya modal kuat memimpin transformasi hijau: kekayaan alam, bonus demografi, posisi strategis, dan ekosistem inovasi yang berkembang.
Tantangan utama saat ini adalah memastikan transformasi hijau berlangsung cepat, berani, dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Penutup: Saatnya Melangkah ke Masa Depan yang Lebih Hijau
Indonesia tidak bisa lagi menunda transisi ekonomi hijau karena tantangan lingkungan dan perubahan iklim semakin mendesak setiap tahun. Transisi ini bukan hanya solusi krisis lingkungan, tapi juga strategi jangka panjang untuk pembangunan nasional yang cerdas dan inklusif. Ekonomi hijau membuka peluang besar bagi Indonesia untuk tumbuh adil, berkelanjutan, dan kompetitif di tingkat global maupun regional.
Untuk itu, pembahasan mendalam tentang tantangan, peluang, dan strategi transformasi ekonomi hijau di Indonesia akan dibahas secara komprehensif dalam agenda tahunan:
Indonesia Corporate Sustainability Outlook 2025
Tema: “Advancing Indonesia’s Green Economy with Sustainability Innovations”
📅 24 Juli 2025
📍 The Sultan Hotel & Residence, Jakarta

Acara ini akan menghadirkan pemangku kepentingan dari sektor pemerintah, korporasi, akademisi, dan komunitas untuk membangun kolaborasi lintas sektor demi masa depan hijau Indonesia.
Mari bersama mempercepat transformasi menuju ekonomi hijau. Masa depan Indonesia ada di tangan kita semua.
Referensi:
- Asian Development Bank. (2023). ASEAN green recovery report.
- Bappenas. (2019). Visi Indonesia 2045: Peta jalan menuju Indonesia maju.
- Green Climate Fund, & Bappenas. (2022). Indonesia country programme for the GCF.
- International Labour Organization. (2022). Just transition towards environmentally sustainable economies and societies for all.
- International Labour Organization. (2022). World employment and social outlook: Climate change and labour markets.
- Kementerian Koperasi dan UKM. (2022). Profil UMKM Indonesia 2022.
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2021). Indonesia long-term strategy for low carbon and climate resilience 2050.
- Organisation for Economic Co-operation and Development. (2021). Aligning development co-operation and climate action: The only way forward.
- Organisation for Economic Co-operation and Development. (2022). Green growth indicators 2022.
- United Nations Environment Programme. (2011). Towards a green economy: Pathways to sustainable development and poverty eradication.
- World Bank. (2021). The changing wealth of nations.