Net Zero Emission atau emisi nol bersih, bagaikan sebuah timbangan yang menyeimbangkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia dengan kemampuan alam untuk menyerapnya. Bayangkan, di satu sisi timbangan terdapat emisi karbon dari aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil dan dan deforestasi. Di sisi lain, terdapat penyerapan karbon oleh hutan, lautan, dan tanah.
Sebelum Revolusi Industri, keseimbangan ini terjaga secara alami. Namun, emisi karbon yang melonjak akibat aktivitas manusia telah mengganggu keseimbangan ini, memicu efek rumah kaca dan perubahan iklim. Net Zero Emission hadir sebagai solusi untuk mengembalikan keseimbangan, demi bumi yang lebih hijau dan lestari.
Lalu apakah Net Zero Emission itu?
Latar Belakang Munculnya Net Zero Emission
Konsep Net Zero Emission (NZE) pertama kali muncul secara resmi di Konferensi Perubahan Iklim COP21 yang diadakan di Paris pada tahun 2015. Momen ini menjadi titik balik penting dalam upaya global untuk menanggulangi perubahan iklim.
COP21 Paris melahirkan Paris Agreement atau Perjanjian Paris, sebuah kesepakatan internasional yang memuat komitmen negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai emisi nol bersih pada pertengahan abad ini. Perjanjian Paris telah ditandatangani oleh 197 negara yang tergabung dalam Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Hingga saat ini, 191 negara telah meratifikasi perjanjian ini. Perjanjian Paris terbagi menjadi 29 pasal yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan membatasi kenaikan suhu global di bawah 2℃, idealnya 1,5℃, dibandingkan era pra-industri.
Meskipun istilah Net Zero Emission (NZE) tidak secara eksplisit tercantum dalam Perjanjian Paris, konsep NZE tersirat dalam Pasal 4.1. Pernyataan dalam pasal tersebut “… balance between anthropogenic emissions by sources and removals by sinks of greenhouse gases...” merupakan konsep inti dari NZE. Konsep ini menggambarkan kondisi dimana emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia (emisi antropogenik) seimbang dengan jumlah gas rumah kaca yang diserap oleh alam. Ketika keseimbangan ini tercapai, maka kondisi NZE terpenuhi. Artinya, jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia tidak melebihi kemampuan alam untuk menyerapnya.
Implementasi Net Zero Emission di Indonesia
Indonesia menunjukkan keseriusannya untuk mencapai netralitas emisi karbon pada tahun 2060. Komitmen ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 yang meratifikasi Paris Agreement dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, sebagai bagian dari komitmennya sebagai negara penandatanganan Perjanjian Paris.
Dalam dokumen NDC, Indonesia menaikkan target pengurangan emisi dari 29% menjadi 31,89% pada tahun 2030 untuk upaya mandiri. Selain itu, target pengurangan emisi dengan dukungan internasional juga dinaikkan dari 41% menjadi 43,20%. Meski begitu, pelaksanaan kebijakan sering tertinggal dibandingkan peningkatan emisi, sehingga dibutuhkan langkah-langkah terobosan yang signifikan.
Untuk mengatasi ini, pemerintah menerapkan lima strategi utama guna mengurangi jejak karbon dan mencapai netralitas emisi. Strategi ini meliputi peningkatan penggunaan energi terbarukan (EBT), pengurangan konsumsi energi fosil, penerapan kendaran listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan listrik dalam rumah tangga dan industri, serta implementasi teknologi Carbon Capture and Storage (CCS).
Penerapan Teknologi Carbon Capture and Storage di Indonesia
Sebagai bagian dari langkah inovatif, Indonesia mulai merencanakan penerapan teknologi CCS. Teknologi ini bertujuan untuk mengurangi emisi CO2 ke atmosfer, yang merupakan salah satu upaya mitigasi perubahan iklim.
Teknologi ini melibatkan proses yang dimulai dari permisahan dan penangkapan CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas). Proses ini menggunakan teknologi absorpsi yang telah umum digunakan di industri. CO2 yang telah ditangkap kemudian diangkut ke lokasi penyimpanan yang aman. Pengangkutan CO2 ini biasanya dilakukan menggunakan pipia atau tangki, mirip dengan metode pengangkutan gas seperti LPG dan LNG.
Selanjutnya, CO2 disimpan dengan mengalirkannya ke lapisan batuan di bawah permukaan bumi yang dapat menahan gas tersebut, atau dengan menginjeksikannya ke dalam laut pada kedalaman tertentu agar tidak kembali ke atmosfer. Strategi penyimpanan ini menjanjikan, meskipun terdapat kekhawatiran terkait biaya yang tingg dan masalah kompetitifitas teknologi ini.
Penangkapan CO2 juga sering diterapkan dalam produksi hidrogen, baik di laboratorium maupun pada skala komersial. Hingga tahun 2021, ada 31 proyek CCS yang beroperasi secara komersial di seluruh dunia, dengan sekitar 90 proyek lainnya dalam tahap pengembangan.
Angka ini terus meningkat berkat kemajuan inovasi hasil penelitian dan komitmen banyak negara untuk mengurangi emisi karbon dengan menggunakan teknologi CCS yang dianggap salah satu metode tercepat untuk mencapai pengurangan emisi.