Investasi berkelanjutan dengan prinsip ESG (environmental, social, and governance) kian diminati. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan dana kelolaan (AUM) untuk investasi berkelanjutan yang mencapai 19% per tahun, atau US$2.1 triliun, antara 2016-2021. Daya tarik ini wajar, mengingat investor ingin menanamkan modalnya pada perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan.
Namun, di balik tren positif ini, terdapat praktik greenwashing yang meresahkan. Survei terbaru menunjukkan bahwa hampir 60% CEO membuat klaim palsu terkait penerapan ESG demi menarik investor. Hal ini tentu mencemari kredibilitas investasi berkelanjutan dan merugikan investor yang ingin berkontribusi pada masa depan yang lebih hijau.
Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai daya tarik investasi berkelanjutan, modus greenwashing yang marak terjadi, dan langkah-langkah yang perlu diambil untuk melindungi investor dan memastikan praktik investasi yang benar-benar berkelanjutan.
Istilah “greenwashing” semakin marak terdengar dalam dunia keberlanjutan. Praktik ini mengacu pada pernyataan, deklarasi, tindakan, dan komunikasi yang seolah-olah menunjukkan komitmen terhadap kelestarian, namun kenyataannya tidak sejalan dengan fakta. Tujuannya adalah untuk menipu konsumen, investor, atau pemangku kepentingan (stakeholder) agar percaya bahwa perusahaan atau organisasi tersebut ramah lingkungan.
Agar dapat melawan greenwashing, penting bagi kita untuk memahami berbagai jenis dan cara yang digunakannya. Mari kita eksplorasi lebih lanjut beragam tipe greenwashing yang sering ditemui, mulai dari penggunaan citra dan simbol hijau yang berlebihan hingga klaim tanpa verifikasi dan penekanan hanya pada satu aspek positif.
Baca lainnya: Kenali Ciri-Ciri Greenwashing!
1. Greenshifting
Salah satu modus greenwashing yang berbahaya adalah “shifting the blame” atau mengalihkan tanggung jawab. Dalam praktik ini, perusahaan memindahkan tanggung jawab penanganan iklim dan lingkungan terkait bisnis dan produk mereka kepada konsumen.
Contohnya, perusahaan bahan bakar fosil menggunakan istilah “jejak karbon” untuk mengalihkan perhatian publik dari tanggung jawab perusahaan untuk menurunkan emisi. Mereka menekankan peran individu dalam mengurangi emisi melalui aktivitas sehari-hari, alih-alih fokus pada perlunya produsen minyak dan gas beralih dari bahan bakar fosil yang merupakan sumber emisi karbon utama.
Praktik ini menyesatkan karena mengabaikan peran krusial perusahaan dalam krisis iklim dan menempatkan beban di pundak individu. Padahal, perubahan sistemik dan komitmen nyata dari perusahaan lah yang diperlukan untuk mencapai emisi nol bersih.
2. Green-hushing
Di era investasi berkelanjutan dengan fokus pada ESG (Environmental, Social, and Governance), transparansi menjadi kunci. Namun, praktik “green-hushing” justru marak terjadi, di mana perusahaan sengaja menyembunyikan tujuan keberlanjutan atau informasi tentang dampak lingkungan mereka untuk menghindari tuduhan greenwashing.
Para pemangku kepentingan (stakeholder) kian jeli dalam memeriksa komitmen perusahaan terhadap lingkungan dan sosial. Oleh karena itu, green-hushing hanya akan mencoreng reputasi dan merugikan perusahaan dalam jangka panjang. Investasi berkelanjutan harus didasarkan pada informasi yang akurat dan transparan. Perusahaan yang benar-benar berkomitmen pada keberlanjutan tidak akan ragu untuk menunjukkannya kepada publik.
3. Green-crowding
Greencrowding adalah salah satu taktik dalam praktik greenwashing di mana perusahaan atau organisasi berusaha menyembunyikan atau menutupi dampak negatif lingkungan mereka dengan bersembunyi di balik upaya kolektif dari industri atau sektor tertentu. Dengan cara ini, mereka mengaburkan tanggung jawab individual mereka dengan menyelaraskan diri dengan inisiatif atau komitmen yang lebih luas.
Taktik ini memanfaatkan kekuatan jumlah, di mana perusahaan berharap bahwa dengan menjadi bagian dari kelompok yang lebih besar, perhatian publik dan regulator akan lebih terfokus pada upaya kolektif daripada mengevaluasi kontribusi individu setiap perusahaan. Hal ini dapat menyebabkan kesan bahwa perusahaan sedang melakukan lebih banyak untuk keberlanjutan daripada yang sebenarnya terjadi.
Perusahaan dapat menghindari greencrowding dengan mengambil langkah berani yaitu menetapkan dan mengejar tujuan keberlanjutan yang ambisius dan melampaui standar industri. Alih-alih mengikuti jejak perusahaan lain, mereka harus menjadi pelopor dalam inisiatif ramah lingkungan. Dengan strategi ini, perusahaan tidak hanya menunjukkan komitmen nyata terhadap keberlanjutan, tetapi juga menonjolkan diri di mata konsumen dan pemangku kepentingan.
Baca lainnya: 5 Faktor Keberhasilan Sustainability
4. Greenlighting
Greenlighting adalah salah satu taktik dalam praktik greenwashing di mana perusahaan menonjolkan satu atau beberapa aspek positif dari kinerja lingkungan mereka untuk mengalihkan perhatian dari dampak negatif yang lebih besar atau signifikan. Dengan menyoroti inisiatif hijau yang mencolok atau proyek-proyek ramah lingkungan, perusahaan berusaha menciptakan citra positif yang dapat menutupi atau mengecilkan masalah lingkungan yang mungkin lebih parah atau luas.
Taktik ini membuat konsumen merasa perusahaan bertanggung jawab, padahal perubahan yang dilakukan mungkin tidak signifikan. Misalnya, perusahaan mempromosikan bahan daur ulang dalam satu produk, tetapi tetap menggunakan proses produksi yang mencemari lingkungan.
Untuk mencegah hal ini, perusahaan perlu menyelaraskan praktik bisnis mereka secara keseluruhan dengan klaim ramah lingkungan mereka, memastikan bahwa klaim ini benar-benar mencerminkan komitmen mereka terhadap keberlanjutan.
5. Greenlabelling
Greenlabelling adalah salah satu jenis greenwashing di mana perusahaan atau produk menggunakan label atau klaim yang menyesatkan untuk memberi kesan bahwa mereka lebih ramah lingkungan daripada yang sebenarnya. Taktik ini melibatkan penggunaan istilah, simbol, atau sertifikasi yang menciptakan ilusi keberlanjutan atau dampak lingkungan yang minimal. Klaim tersebut mungkin tidak didukung oleh tindakan nyata atau bukti yang memadai.
Hal ini dapat membingungkan konsumen yang ingin membuat pilihan yang lebih ramah lingkungan, sehingga mereka mungkin tanpa sadar mendukung praktik yang merugikan lingkungan. Untuk mengatasi masalah ini, sangat penting bagi konsumen untuk menjadi lebih kritis dan teliti dalam memeriksa klaim lingkungan yang dibuat oleh perusahaan.
Mencari informasi dari sumber independen dan memahami sertifikasi yang sah adalah langkah penting. Mengedukasi diri tentang keberlanjutan juga dapat membantu menghindari greenlabelling. Selain itu, dorongan untuk regulasi yang lebih ketat dari pihak pemerintah dan lembaga sertifikasi sangat penting. Ini membantu memastikan bahwa klaim lingkungan benar-benar dapat dipercaya.
6. Greenrising
Greenrising adalah istilah yang relatif baru dalam dunia greenwashing yang merujuk pada tren peningkatan perusahaan yang mempromosikan citra ramah lingkungan mereka secara berlebihan, bahkan menipu.
Kesadaran konsumen tentang isu lingkungan yang meningkat mendorong mereka untuk mencari produk dan layanan yang ramah lingkungan. Hal ini, pada gilirannya, mendorong perusahaan untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap keberlanjutan. Meskipun begitu, komitmen tersebut tidak selalu tulus. Dalam industri yang semakin kompetitif, banyak perusahaan merasa perlu mengikuti tren keberlanjutan agar tidak tertinggal. Ini seringkali mengakibatkan greenwashing, di mana mereka melebih-lebihkan atau bahkan memalsukan komitmen keberlanjutan mereka. Selain itu, kurangnya regulasi yang jelas dan kuat tentang klaim keberlanjutan memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan greenwashing tanpa menghadapi konsekuensi yang signifikan.
Kesimpulan
Dunia pemasaran dipenuhi dengan pesan-pesan bernada “hijau” dan “ramah lingkungan.” Sayangnya, tidak semua klaim tersebut akurat. Greenwashing, praktik menyesatkan konsumen tentang praktik keberlanjutan perusahaan, dapat ditemui dalam berbagai bentuk. Dari greenhushing yang menyembunyikan jejak buruk hingga greenrising yang membesar-besarkan inisiatif kecil, konsumen perlu mewaspadai taktik ini.
Untuk menghindari terjebak greenwashing, bekali diri dengan pengetahuan. Riset independen, pemahaman terhadap sertifikasi yang kredibel, dan kesadaran akan praktik ramah lingkungan sejati adalah senjata ampuh. Selain itu, dukunglah perusahaan yang transparan dan memiliki catatan nyata dalam keberlanjutan. Dengan konsumen yang cerdas dan kritis, serta regulasi yang lebih ketat, kita bisa bersama-sama mendorong praktik bisnis yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan masa depan yang lebih hijau.
Baca lainnya: Mengembangkan Strategi Sustainability Perusahaan