Untuk mengembangkan strategi sustainability perusahaan tentu tidak mudah saat merencanakan target dan transisi di awal. Bettina Büchel mengeksplorasi bagaimana menetapkan ambisi dan mengelola transisi sustainability sebagai kunci masa depan yang cerah dan berkelanjutan.
Saat German consumer goods group Henkel menerbitkan laporan sustainability tahun 2021. Tujuannya untuk:
1. Mempercepat iklim dalam produksi yang positif.
2. Berkontribusi pada ekonomi sirkular dalam plastik.
3. Mencapai kesetaraan gender dalam manajemen.
4. Memperluas pekerjaan pendidikan masyarakat.
5. Membentuk masa depan pekerjaan.
6. Menghubungkan pendanaan dengan strategi keberlanjutannya.
Mereka menetapkan ambisi keberlanjutannya sampai tahun 2030 dan seterusnya.
Apakah itu semua sudah sesuai target bagi perusahaan, atau malah belum cukup?
Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan semakin terdorong untuk menangani agenda sustainability dan berkomitmen untuk mencapai target yang kuat dalam masalah lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Survei Desember 2018 yang dilakukan oleh information technology company Accenture mengatakan bahwa konsumen hanya akan membeli produk jika tujuan keberlanjutannya sesuai dengan keinginan mereka. Ketika tidak cocok, 42% akan pergi dan 21% tidak akan kembali lagi.
Karyawan juga tertarik pada sustainability. Sebuah survei yang dilakukan oleh tech provider Unily menunjukkan bahwa 80% dari tenaga kerja mengatakan value lingkungan perusahaan mereka tidak, atau hanya sebagian, selaras dengan value lingkungan mereka sendiri. Investor juga semakin sadar dan masyarakat juga menganggap keberlanjutan sebagai pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang.
Jadi, bagaimana perusahaan dapat meningkatkan ambisi dalam konteks pemangku kepentingan tanpa sekedar memberi janji? Ada 3 langkah untuk mengembangkan strategi sustainability perusahaan yang diterapkan saat ini dengan tingkat ambisi yang berbeda-beda.
1. Value Protection (Perlindungan Nilai atau Lisensi untuk Beroperasi)
Target pertama fokus mempertahankan lisensi untuk beroperasi, yaitu diizinkan untuk melakukan bisnis di bawah regulasi atau pengawasan oleh otoritas lisensi, seperti European Green Deal dan serangkaian kebijakan untuk carbon neutral tahun 2050. Untuk mempercepat agenda standar akuntansi keberlanjutan keuangan, perusahaan menyaksikan pembentukan the International Sustainability Standards Board sebagai hasil dari konferensi COP26 pada November 2021.
Value protection berfungsi untuk mengembangkan startegy sustainability dalam satu set standar pelaporan keuangan yang berkualitas tinggi, dapat dipahami, dapat dilaksanakan, dan diterima secara global. Tujuannya untuk meningkatkan komparabilitas internasional dan kualitas informasi keuangan, dan memungkinkan investor untuk mengurangi kesenjangan antara penyedia modal. Serupa dengan standar akuntansi, standar sustainability akan dimasukkan dalam lisensi untuk beroperasi.
Sebagai contoh, US aluminum company Alcoa harus merencanakan pengurangan emisi gas rumah kaca (greenhouse gas/GHG) untuk mematuhi program pelaporan US GHG yang diluncurkan pada 2010/2011. Alcoa juga menyelaraskan tujuan pengurangan GHG emission dengan jalur dekarbonisasi di bawah 2ºC yang ditentukan dalam Paris Climate Accord. Janji tersebut mencakup pengurangan intensitas karbon sebesar 30% pada tahun 2025 dan 50% pada tahun 2030. Banyak perusahaan yang terlambat mengambil tindakan tegas untuk mengatasi perubahan iklim. Pada awalnya, perusahaan masih terlibat dalam inisiatif CSR di mana perusahaan melampaui kepentingan dan kepatuhan hukum untuk terlibat dalam kegiatan sosial. Dengan demikian, perusahaan mempertahankan fokus inti mereka pada profitabilitas dan pengembalian pemegang saham sambil mencoba untuk mengurangi risiko yang terlibat. Agenda yang didorong oleh kepatuhan ini adalah pendekatan meminimalkan risiko, dan memastikan perusahaan tetap berada di jalur bisnis.
Baca juga: 14 Tren Sustainability 2022 untuk Transformasi Bisnis Berkelanjutan
2. Value enhancing, Risk Low (Meningkatkan Nilai, Risiko Rendah)
Strategi kedua berfokus pada peningkatan value, yang sering ditandai dengan kombinasi profitabilitas dan sustainability. Inisiatif keberlanjutan harus meningkatkan profitabilitas, baik dalam operasi atau dalam inisiatif yang dihadapi pelanggan. Dalam hal ini, mitigasi risiko harus diberikan.
Schneider Electric, French electrical equipment group yang mendapatkan keuntungan dari lonjakan permintaan listrik secara global. Antara tahun 1990 dan 2020, permintaan di seluruh dunia mencapai 2,5 kali lipat. Dengan meningkatnya kebutuhan listrik dan permintaan yang terus meningkat untuk energi berbasis non-karbon, pasokan konvensional menjadi tidak sustainable.
Perusahaan pertama mengubah sumber energi menjadi energi terbarukan rendah karbon, terutama angin, fotovoltaik, dan biomassa. Untuk meningkatkan nilai penawarannya, perusahaan ini juga memperluas layanan dan jasa dengan menciptakan platform yang memungkinkan konsumen untuk mengelola energi mereka lebih efisien. Sebagai hasil dari strategi peningkatan value ini, penjualan, keuntungan, dan harga saham melonjak. Tapi Schneider tidak berhenti sampai di situ.
Pada tahun 2015, perusahaan ini mengubah misinya menjadi: “Kami memberdayakan semua orang untuk memanfaatkan energi dan sumber daya sebaik-baiknya, memastikan ‘Life Is On‘ dimanapun, siapapun, dan kapanpun.” Seiring berjalannya waktu, tingkat ambisi meningkat dan Schneider sustainability impact (SSI) program menciptakan inisiatif peningkatan sustainability tambahan sambil menetapkan target ambisius untuk penciptaan value yang sulit dilakukan di awal.
Baca juga: Mengapa Semua Perusahaan Perlu Menerapkan Sustainability?
3. Value Creation Mission
Tingkat ketiga berfokus pada pendefinisian ulang tujuan perusahaan, dan berpusat pada penciptaan nilai ke masa depan. Salah satu bisnis tersebut adalah Ørsted, the Danish state-owned energy company yang didirikan untuk menyediakan fasilitas pemanas listrik dan rumah tangga. Perusahaan awalnya berinvestasi besar-besaran di pembangkit listrik tenaga batu bara, tetapi pada tahun 2017 beralih ke sumber energi terbarukan. Tujuannya untuk mengembangkan dan menerapkan solusi energi hijau yang menguntungkan planet dan konsumen dengan low-cost. Akhirnya perusahaan ini mulai merevolusi industri listrik dan mengurangi dampak perubahan iklim.
Mengelola transisi menuju penciptaan value, agenda yang dikerjakan mungkin menjadi tantangan tersulit bagi CEO mana pun. Sementara strategi keberlanjutan tingkat pertama “lisensi untuk beroperasi” sangat penting. Dengan demikian, menetapkan target untuk tujuan yang ambisius adalah strategi ofensif dengan tingkat risiko dan ketidakpastian yang tinggi. Masukan seperti teknologi atau kapabilitas tidak diketahui, demikian juga tanggapan potensial dari pemangku kepentingan. Secara internal, mungkin juga ada pemikiran yang berlawanan tentang apakah akan fokus pada penciptaan value pemegang saham atau pemangku kepentingan.
Beberapa investor mungkin tidak tertarik untuk memaksimalkan keuntungan jangka pendek demi keuntungan jangka panjang bagi masyarakat luas. Jadi, apakah ini semua tentang penjualan jangka panjang vs. jangka pendek? Banyak pemangku kepentingan perlu mempertimbangkan pengoptimalan penciptaan nilai, trade-off mungkin benar-benar siap untuk hidup berdampingan. Terlalu menekan keberlanjutan jangka pendek dapat membahayakan jangka panjang, karena ada sumber daya yang terbatas untuk diinvestasikan dalam kegiatan yang menghasilkan profit. Pada saat yang sama, terlalu banyak investasi keberlanjutan jangka panjang dapat membahayakan profitabilitas dalam jangka pendek. Namun, keduanya bisa hidup selaras jika diterapkan dengan benar dan keduanya dapat memiliki manfaat yang besar.
Baca juga: Mengapa Perusahaan Membutuhkan Pola Pikir Value-Focused untuk Mencapai Sustainability Goals?
Bagaimana mengembangkan strategi sustainability yang seimbang antara jangka pendek dan jangka panjang pada berbagai tahap pengembangan ESG di lingkungan bisnis yang berbeda?
Penetapan ambisi hanyalah permulaan. Dalam agenda CEO mana pun, kebutuhan untuk melakukan transisi bertahap dengan membuat penyesuaian berkelanjutan antara jangka pendek dan jangka panjang saat keputusan strategis tentang prioritas intensif sumber daya dibuat.
Lalu, bagaimana strategi mempercepat transisi sustainability?
Tantangan utama dalam mengembangkan strategi sustainability dan transisi dengan lebih cepat adalah:
1. Inkubasi dan penskalaan inovasi
Inkubasi dan penskalaan inovasi pada awalnya tampak paling mudah, karena teknologi baru selalu muncul untuk penggunaan sumber daya alam yang lebih efisien seperti fotovoltaik surya atau kendaraan listrik. Kuncinya adalah mempercepat difusi inovasi tersebut melalui upscaling teknologi, yang seringkali didukung oleh regulasi dalam bentuk pajak atau subsidi. Peningkatan ini mungkin tidak dapat dicapai tanpa memanfaatkan gelombang kebijakan regulasi.
2. Mengatasi perubahan sistem di luar batas perusahaan
Namun, inovasi membutuhkan perubahan sistem yang melampaui lingkup perusahaan. Ambil contoh energi terbarukan seperti produksi energi matahari, angin atau desentralisasi di tingkat rumah tangga yang membutuhkan teknologi penyimpanan. Tanpa kapasitas jaringan transmisi untuk mengangkut inovasi energi, mereka tidak akan menguntungkan konsumen secara luas sampai perubahan sistem yang diperlukan telah dilakukan. Meskipun hal ini memberikan peluang bagi perusahaan untuk melakukan investasi, perubahan kebijakan perlu mendorong peralihan dari inovasi tunggal ke pengelolaan transformasi sistem yang lebih luas. Seperti Community of Glass Associations, mengingat adanya dinamika persaingan, keengganan untuk menjadi penggerak pertama, karena sering kali memerlukan biaya lebih tinggi.
3. Menyelesaikan ketegangan antara subsistem yang berbeda
Ketegangan di dalam sistem juga dapat muncul. Ambil contoh pertanian dan energi. Menciptakan biomassa untuk bahan bakar dengan sendirinya dapat dilihat sebagai pengganti bahan bakar fosil dengan sumber daya yang lebih berkelanjutan. Hal itu dapat menyebabkan tekanan pada ketahanan pangan jika lahan tidak lagi digunakan untuk produksi pangan. Ini juga dapat terjadi dalam industri di mana persaingan untuk standar dapat dimainkan. Dalam industri kaca, mungkin perlu memiliki proses produksi terbaru yang paling ramah lingkungan sebagai standar industri untuk mencapai net-zero. Tetapi pengembangan bersama mungkin tidak untuk kepentingan semua pemain, karena mereka yang berteknologi maju akan kehilangan keunggulan kompetitif mereka.
4. Mengatasi resistensi terhadap penghentian secara bertahap dari teknologi atau praktik yang tidak berkelanjutan
Mengatasi resistensi terhadap penghentian teknologi yang tidak berkelanjutan secara bertahap adalah transisi lain untuk dikelola. Dalam industri pertambangan, penghentian tambang bauksit secara bertahap mungkin merupakan kepentingan beberapa pemangku seperti kelompok lingkungan. Tetapi perlawanan dapat datang dari pekerja atau kelompok masyarakat setempat yang mata pencahariannya dikorbankan.
5. Mengubah perilaku pelanggan dan konsumen
Tantangan konsumen berkaitan dengan praktik sosial yang diperlukan untuk mengarusutamakan inovasi berkelanjutan. Sementara pencetus awal kendaraan listrik yang siap merencanakan praktik pengisian bahan bakar, mayoritas mungkin kurang bersedia, karena mengurangi kecepatan transisi. Praktik keberlanjutan yang paling berdampak sering kali ditentang olek konsumen, sehingga peran perusahaan tidak hanya mengembangkan inovasi yang berkelanjutan tetapi juga mengubah perilaku konsumen melalui upaya pemasaran dan branding untuk mendorong perubahan.
Baca juga: Global Reporting Initiative (GRI), Standar Untuk Sustainability Report
Kesimpulan
Untuk mengembangkan strategi sustainability perusahaan yang ambisius dan berorientasi pada tujuan, kita membutuhkan teknologi inovatif yang membantu transisi menuju mode produksi dan konsumsi. Bagi sebagian besar perusahaan, fase kemunculan seringkali tidak hanya membutuhkan inovasi tetapi juga membangun koalisi sistem. Fase akselerasi membutuhkan pengelolaan penerimaan sosial, kompensasi mereka yang menolak perubahan, dan kerangka peraturan yang mendukung dari pembuat kebijakan. Mempertimbangkan waktu yang tepat sangat penting. Ini bukan hanya tentang menetapkan agenda ambisius yang digerakkan oleh tujuan, tetapi juga mengelola transisi dalam pendekatan bertahap.
Bagi kita yang ingin membuat program CSR sebagai strategi bisnis jangka panjang dan ingin mendapatkan lebih banyak pengetahuan dan informasi tentang CSR, langsung saja menuju Olahkarsa. Karena di Olahkarsa tersedia berbagai produk yang menarik untuk solusi manajemen CSR kita semua sekaligus tersedia kelas pelatihan bagi praktisi CSR yaitu CSR School. Jadi ayo segera upgrade bisnis CSR kita sekarang juga.