Di tengah krisis iklim global, stagnasi ekonomi tradisional, dan tuntutan pembangunan berkeadilan, pembiayaan berkelanjutan (sustainable financing) muncul sebagai salah satu penentu masa depan ekonomi Indonesia. Lebih dari sekadar tren, sustainable finance menjadi kebutuhan sistemik, sebuah kerangka yang menjawab kompleksitas pembangunan jangka panjang: dari pencapaian target emisi karbon, keadilan sosial, hingga ketahanan ekonomi nasional.
Namun, seberapa siap Indonesia mengadopsi dan mengarusutamakan pembiayaan berkelanjutan? Mengapa pendekatan ini begitu krusial bagi masa depan ekonomi nasional menuju Visi Indonesia 2045? Mari kita bahas dalam artikel berikut ini.
Apa Itu Pembiayaan Berkelanjutan?
Pembiayaan berkelanjutan mencakup seluruh bentuk investasi dan pendanaan yang memperhitungkan kinerja lingkungan (Environment), sosial (Social), dan tata kelola perusahaan (Governance) dalam proses pengambilan keputusan keuangan. Dalam praktiknya, ini bisa berbentuk obligasi hijau (green bonds), sukuk hijau, dana kelolaan berorientasi ESG, hingga pembiayaan mikro bagi UMKM berkelanjutan.
Sustainable financing bukan sekadar pendekatan etis, melainkan respons strategis terhadap risiko sistemik yang dihadapi pasar global dan nasional. Tanpa pendekatan ini, pembiayaan tradisional berisiko memperparah krisis ekologi, memperlebar kesenjangan, dan menimbulkan instabilitas ekonomi dalam jangka panjang.
Mengapa Pembiayaan Berkelanjutan Sangat Penting bagi Indonesia?
Di tengah urgensi perubahan iklim dan dorongan menuju ekonomi hijau, pembiayaan berkelanjutan menjadi salah satu fondasi utama yang menentukan arah pembangunan Indonesia ke depan. Tidak cukup hanya dengan komitmen kebijakan, diperlukan mekanisme pendanaan yang mampu menggerakkan transformasi sistemik, dari sektor energi hingga UMKM. Indonesia membutuhkan strategi pembiayaan yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga inklusif, adil, dan berorientasi jangka panjang. Berikut ini adalah beberapa alasan mendasar mengapa pembiayaan berkelanjutan menjadi sangat krusial bagi masa depan ekonomi nasional:

1. Menutup Kesenjangan Pembiayaan Iklim dan Infrastruktur Hijau
Menurut Bappenas, kebutuhan pembiayaan untuk mencapai target pengurangan emisi karbon Indonesia hingga 2030 mencapai lebih dari USD 247 miliar. Sementara itu, realisasi dari APBN dan pembiayaan internasional baru menyentuh sebagian kecilnya. Tanpa pembiayaan berkelanjutan yang masif dan terstruktur, target Nationally Determined Contributions (NDC) akan sulit dicapai.
Infrastruktur energi terbarukan, sistem transportasi rendah emisi, pengelolaan air, dan limbah memerlukan sumber daya modal besar dan berjangka panjang. Pendekatan pembiayaan berkelanjutan diperlukan untuk memastikan proyek-proyek ini tidak hanya layak secara ekonomi, tetapi juga berdampak secara sosial dan ekologi.
2. Mengurangi Risiko Ekonomi dan Menjaga Stabilitas Keuangan
Risiko iklim dan kerusakan lingkungan kini diakui sebagai risiko finansial utama. OJK menyebut bahwa portofolio perbankan di Indonesia masih sangat rentan terhadap paparan risiko lingkungan, terutama sektor yang masih berbasis batu bara dan pertanian ekstensif.
Tanpa penyesuaian portofolio ke arah investasi hijau, lembaga keuangan berisiko menanggung aset “tertinggal” (stranded assets) yang nilainya anjlok akibat transisi energi atau tekanan kebijakan global. Pembiayaan berkelanjutan mengarahkan modal untuk menghindari risiko tersebut dan memperkuat ketahanan ekonomi jangka panjang.
3. Menarik Modal Asing dan Dana Global yang Kian ESG-Oriented
Tren global menunjukkan pergeseran besar ke arah investasi hijau. Menurut World Bank, nilai aset kelolaan global berbasis ESG telah melampaui USD 35 triliun dan terus bertumbuh. Investor internasional, termasuk sovereign wealth funds, mulai menolak investasi yang tak sesuai prinsip keberlanjutan.
Indonesia tidak dapat mengandalkan pendekatan lama dalam menarik investasi. Tanpa sistem keuangan yang ESG-compliant, Indonesia akan kehilangan akses terhadap modal global yang makin hijau. Keberadaan instrumen seperti green sukuk, seperti yang telah diterbitkan pemerintah sejak 2018, menunjukkan potensi besar yang bisa dikembangkan lebih luas.
4. Mendukung Transformasi Sosial dan UMKM Berkelanjutan
UMKM Indonesia menyumbang 61% PDB nasional, namun sebagian besar masih beroperasi tanpa panduan keberlanjutan atau akses pada pembiayaan hijau. Pembiayaan berkelanjutan memberi peluang bagi UMKM untuk melakukan transisi melalui insentif keuangan, pelatihan, dan pendampingan teknis.
Namun hingga kini, sebagian besar instrumen keuangan hijau masih didominasi proyek skala besar. Perlu desain khusus untuk pembiayaan mikro hijau yang inklusif dan berpihak pada usaha rakyat, bukan hanya perusahaan besar.
5. Meningkatkan Tata Kelola dan Transparansi Keuangan pada Pembiayaan Berkelanjutan
Sustainable financing tidak dapat berjalan tanpa transparansi dan pengukuran dampak. Di sinilah ESG bukan hanya pelengkap, tapi kerangka kerja tata kelola. Menerapkan sistem audit keberlanjutan, pelaporan emisi, hingga disclosure sosial menjadikan lembaga keuangan dan perusahaan lebih akuntabel dan resilien terhadap krisis.
Tantangan Struktural dalam Implementasi Pembiayaan Berkelanjutan
Meski peluang pembiayaan berkelanjutan di Indonesia sangat besar, realisasinya masih menghadapi berbagai tantangan mendasar. Dari aspek regulasi hingga kesiapan pelaku pasar, ekosistem pembiayaan hijau belum sepenuhnya terbangun secara solid. Untuk menciptakan transisi ekonomi yang adil dan efektif, penting untuk mengenali hambatan-hambatan struktural yang saat ini menghambat laju implementasi pembiayaan berkelanjutan di Indonesia. Beberapa tantangan utama tersebut antara lain:
1. Literasi ESG yang Masih Rendah
Banyak institusi keuangan di Indonesia, baik perbankan maupun non-bank, masih belum sepenuhnya memahami konsep Environmental, Social, and Governance (ESG) sebagai kerangka bisnis strategis. ESG sering disalahartikan hanya sebagai bagian dari program tanggung jawab sosial perusahaan, padahal sebenarnya merupakan indikator penting untuk menilai risiko dan daya tahan bisnis jangka panjang. Akibatnya, pertimbangan ESG belum menjadi pertimbangan utama dalam proses pengambilan keputusan investasi atau pemberian kredit.
2. Belum Ada Standar Nasional yang Seragam untuk Pembiayaan Berkelanjutan
Meskipun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merilis Taksonomi Hijau Indonesia pada tahun 2022, penerapannya masih terbatas dan belum sepenuhnya menjadi acuan baku di seluruh sektor. Banyak pelaku usaha maupun lembaga keuangan masih bingung menentukan apakah suatu proyek benar-benar tergolong āhijauā, karena belum adanya sistem pelaporan dan evaluasi yang terintegrasi dan seragam secara nasional. Hal ini menyulitkan proses validasi dan memunculkan risiko greenwashing.
Baca lainnya:
Kenali Ciri-Ciri Greenwashing!
3. Skema Pembiayaan Berkelanjutan yang Terlalu Konservatif
Lembaga keuangan konvensional cenderung hanya membiayai proyek-proyek yang dianggap aman dan memiliki jaminan pengembalian. Pendekatan ini membuat inovasi hijau, seperti teknologi bersih, energi terbarukan skala kecil, atau model bisnis sosial berbasis masyarakat, sulit mendapatkan akses pendanaan. Banyak startup atau UMKM hijau yang justru stagnan karena terbentur pada keterbatasan modal awal dan tidak adanya keberanian investor untuk mengambil risiko.
4. Minimnya Insentif Fiskal untuk Proyek Hijau
Pemerintah belum menyediakan cukup insentif fiskal seperti keringanan pajak, subsidi teknologi ramah lingkungan, atau fasilitas pembiayaan berbunga rendah untuk mendorong sektor swasta terlibat aktif dalam proyek hijau. Sebaliknya, subsidi terhadap energi fosil seperti batu bara dan BBM masih cukup besar, sehingga membuat energi terbarukan menjadi kurang kompetitif secara ekonomi. Ini menciptakan sinyal pasar yang keliru dan menghambat percepatan transisi energi.
5. Koordinasi Antar Pemangku Kepentingan Masih Lemah untuk Pembiayaan Berkelanjutan
Untuk membangun ekosistem pembiayaan hijau yang menyeluruh, dibutuhkan kerja sama erat antara regulator (seperti OJK, Kemenkeu, Bappenas), sektor swasta, lembaga keuangan, dan masyarakat sipil. Sayangnya, koordinasi lintas sektor ini masih belum berjalan optimal. Masih banyak inisiatif yang berjalan sendiri-sendiri tanpa arah kebijakan yang terkoordinasi, sehingga menghambat terciptanya arsitektur keuangan hijau yang komprehensif dan berdampak nyata.
Menuju Ekonomi Hijau Indonesia: Arah Kebijakan dan Peran Multipihak
Pemerintah Indonesia memang telah menunjukkan komitmen awal melalui berbagai inisiatif, seperti penerbitan green sukuk, penyusunan Roadmap Keuangan Berkelanjutan, dan peluncuran Taksonomi Hijau. Namun, langkah-langkah ini belum cukup untuk mendorong transformasi ekonomi hijau yang menyeluruh. Diperlukan terobosan kebijakan, inovasi pembiayaan, dan kolaborasi multipihak agar transisi ini tidak hanya terjadi di atas kertas, tetapi benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dunia usaha, dan lingkungan. Berikut ini adalah beberapa arah strategis yang bisa menjadi fokus bersama untuk mempercepat agenda ekonomi hijau Indonesia:

1. Inovasi Instrumen Pembiayaan Berbasis Komunitas dan Daerah
Salah satu tantangan terbesar dalam pembiayaan hijau adalah ketimpangan akses modal antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Untuk menjembatani kesenjangan ini, pemerintah dan lembaga keuangan perlu mengembangkan instrumen seperti green village funds, dana lingkungan berbasis desa atau obligasi hijau daerah (subnational green bonds) yang memungkinkan pemerintah daerah membiayai proyek lingkungan secara mandiri. Skema ini akan memperkuat kemandirian daerah dan melibatkan komunitas dalam menjaga kelestarian sumber daya alamnya.
2. Integrasi ESG dalam Kurikulum Keuangan dan Bisnis
Kurangnya pemahaman mengenai prinsip-prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) menjadi hambatan besar dalam menciptakan ekosistem pembiayaan hijau yang matang. ESG perlu dimasukkan secara sistematis ke dalam kurikulum pendidikan tinggi, terutama di fakultas ekonomi, manajemen, dan akuntansi. Selain itu, pelatihan teknis untuk profesional di industri keuangan juga penting agar pemahaman ini menjadi standar dalam pengambilan keputusan bisnis dan investasi.
3. Percepatan Digitalisasi dan Transparansi Proyek Hijau
Penggunaan teknologi digital dapat meningkatkan efisiensi, akuntabilitas, dan daya tarik proyek-proyek hijau. Misalnya, pelaporan berbasis data terbuka (open data) memungkinkan investor memantau dampak lingkungan dari proyek secara real-time, sekaligus memperkecil risiko greenwashing. Selain itu, platform digital seperti marketplace untuk green financing juga dapat mempertemukan pelaku usaha hijau dengan sumber pendanaan alternatif secara lebih mudah dan cepat.
4. Perluasan Peran Sektor Keuangan Non-Bank
Tidak semua kebutuhan pembiayaan hijau bisa dipenuhi oleh bank. Oleh karena itu, peran sektor keuangan non-bank, seperti fintech, koperasi, dan modal ventura, harus diperkuat. Misalnya, fintech lending bisa menjadi jembatan bagi UMKM hijau yang kesulitan mengakses kredit perbankan. Sementara koperasi dapat mengelola dana komunitas untuk proyek-proyek seperti konservasi air, energi surya, atau pertanian regeneratif berbasis lokal.
5. Penguatan Kebijakan Fiskal dan Insentif Pajak untuk Investor Hijau
Insentif fiskal dapat menjadi katalisator utama dalam mempercepat investasi hijau. Pemerintah dapat memberikan potongan pajak, pembebasan bea masuk, atau skema subsidi untuk investasi di sektor seperti energi terbarukan, kendaraan listrik, dan industri ramah lingkungan. Skema ini tidak hanya menarik investor swasta, tetapi juga menciptakan sinyal pasar yang lebih kuat bahwa Indonesia serius menjalankan agenda transisi energi dan pembangunan rendah karbon.
Kesimpulan
Pembiayaan berkelanjutan adalah jembatan menuju masa depan ekonomi Indonesia yang tangguh, adil, dan berdaya saing global. Tanpa arsitektur keuangan yang mendukung keberlanjutan, transformasi ekonomi hijau hanya akan menjadi slogan. Indonesia perlu bergerak lebih cepat dan lebih dalam dalam membangun ekosistem keuangan hijau yang inklusif, kredibel, dan berorientasi dampak.
Mewujudkan ekosistem pembiayaan berkelanjutan di Indonesia tentu tidak bisa dilakukan secara terpisah. Diperlukan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, sektor keuangan, dan masyarakat sipil untuk merancang inovasi kebijakan, instrumen pembiayaan, dan tata kelola yang tepat sasaran. Oleh karena itu, ruang diskusi lintas sektor menjadi sangat krusial guna mempercepat transformasi menuju ekonomi hijau yang inklusif dan berdampak.
Indonesia Corporate Sustainability Outlook 2025
Tema: āAdvancing Indonesiaās Green Economy with Sustainability Innovationsā
š 24 Juli 2025
š The Sultan Hotel & Residence, Jakarta

Acara ini akan menghadirkan pemangku kepentingan dari sektor pemerintah, korporasi, akademisi, dan komunitas untuk membangun kolaborasi lintas sektor demi masa depan hijau Indonesia.
Mari bersama mempercepat transformasi menuju ekonomi hijau. Masa depan Indonesia ada di tangan kita semua.
Referensi:
- Asian Development Bank. (2023). ASEAN green recovery report. Asian Development Bank.
- Bappenas. (2019). Visi Indonesia 2045: Peta jalan menuju Indonesia maju. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
- Green Climate Fund, & Bappenas. (2022). Indonesia country programme for the GCF. Green Climate Fund.
- International Labour Organization. (2022). World employment and social outlook: Climate change and labour markets. ILO.
- Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. (2022). Profil UMKM Indonesia 2022. Kementerian Koperasi dan UKM RI.
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2021). Indonesia long-term strategy for low carbon and climate resilience 2050. KLHK RI.
- Otoritas Jasa Keuangan. (2021). Roadmap keuangan berkelanjutan Indonesia 2021ā2025. Otoritas Jasa Keuangan.
- Organisation for Economic Co-operation and Development. (2022). Green growth indicators 2022. OECD Publishing.
- United Nations Environment Programme. (2011). Towards a green economy: Pathways to sustainable development and poverty eradication. UNEP.
- World Bank. (2021). The changing wealth of nations 2021: Managing assets for the future. World Bank Group.