Triple Bottom Line atau yang sering disingkat sebagai TBL merupakan salah satu konsep yang begitu erat kaitannya dengan pembangunan. Tetapi dalam konteks aplikasinya, konsep TBL ini menjadi pendekatan yang menjelma sebagai parameter perusahaan dalam melakukan kegiatan produksinya.
Kira-kira bagaimana sejarah, definisi, dan juga substansi dari Triple Bottom Line (TBL)? Baca di bawah ini!
Bagaimana Sejarah Triple Bottom Line (TBL)?
Orientasi yang menjadi prinsip dari operasional perusahaan adalah keuntungan. Karena hal ini, perusahaan cenderung mendiskreditkan faktor dan dampak negatif dari proses implementasi yang dilakukan secara masif.
Dampak negatif yang lahir dari kegiatan industri terhadap lingkungan cukup variatif. Mulai dari pencemaran lingkungan hidup, pemanasan global, deforestasi, rusaknya sumber daya alam, hingga area resapan air yang berkurang.
Atas dasar hal ini, muncul suatu konsepsi yang bernama Triple Bottom Line atau TBL yang menjadi acuan bagi perusahaan untuk melangsungkan kegiatan industrialisasinya. Konsep TBL ini secara cepat merangsang berbagai stakeholder untuk akhirnya mengejawantahkan di dalam perusahaan.
Tahukah Anda jika konsep TBL ini pertama kali digagas oleh John Elkington dalam bukunya yang berjudul Cannibal with Forks tahun 1994. Buku ini menjadi buah bibir di kalangan akademisi maupun pengusaha karena kritik tajamnya mengenai pembangunan dan industrialisasi yang mengeliminasi lingkungan hidup secara eksplisit.
Beberapa tahun setelahnya, konsep TBL dianggap sebagai terobosan baru yang menggugah ruang akademis maupun praktis (bisnis). Sehingga pada ilmu mengenai development studies dan economic development, konsep TBL dikaji secara mendalam dengan analisis yang semakin berkembang.
Baca Juga: Apa Manfaat Melakukan Penghitungan SROI?
Apa Definisi dari Triple Bottom Line (TBL)?
Elkington dalam banyak tulisannya mengisyaratkan bahwa Triple Bottom Line (TBL) erat kaitannya dengan tiga proposisi penting, yaitu economic prosperity, environmental quality, dan social justice.
Tiga proposisi penting ini diinterpretasikan sebagai landasan fundamental yang menginspirasi adanya pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Yang secara praktis dibumikan oleh perusahaan pada implementasi tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR).
Secara definitif, TBL adalah konseptualisasi dari pengukuran kinerja perusahaan yang ditilik dari dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dari adanya konsep TBL, maka perusahaan harus menyelaraskan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungannya pada kegiatan produksinya.
āCaptures the essence of sustainability by measuring the impact of an organizationās activities on the world…. including both its profitability and shareholder values and its social, human and environmental capital.ā
(Andrew Savits, 2011)
Dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan sifatnya saling melengkapi dan interdependensi. Di mana ada liniearitas dari tiga proposisi tersebut dengan visi mewujudkan keberlanjutan atau keberlangsungan (sustainability). Bahkan tiga proposisi ini sifatnya mutually reinforcing bukan mutually exclusive, artinya dapat dimaknai sebagai triple bottom line sustainability.
Baca Juga: Apa Saja Keuntungan PROPER bagi Perusahaan?
Cari Tahu! Substansi Utama dari Triple Bottom Line (TBL)
Konsep Triple Bottom Line (TBL) merupakan fondasi dari kegiatan corporate social responsibility (CSR) bagi perusahaan. Artinya, jika melakukan tanggung jawab sosial perusahaan harus memperhatikan substansi utama dari TBL.
Substansi utama dari TBL sering disingkap menjadi 3P, yaitu profit, people, dan planet. Bagaimana penjelasannya?
Profit
Pertama, yaitu profit atau keuntungan yang tetap menjadi orientasi objektif perusahaan. Setiap skema bisnis yang dirancang oleh perusahaan memiliki tujuan utama untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Merujuk pada hal ini, konsep TBL tidak mereduksi profit sebagai bagian yang penting dalam konteks pengukuran kinerjanya. Tetapi TBL menekankan pada keuntungan yang maksimal harus memperhatikan aspek efisiensi biaya, reformasi birokrasi, hingga pembenahan dari segi manajemen internal.
People
Kedua, yaitu people atau masyarakat sebagai salah satu stakeholder dalam perusahaan. Dewasa ini, perusahaan harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat utamanya yang berada di sekitar lokasi produksi.
Perusahaan sebagai sebuah lembaga harus ikut berpartisipasi dalam memberikan dampak yang positif terhadap masyarakat. Terlebih, perusahaan kerap kali memiliki stigma buruk kepada masyarakat yang tercermin di beberapa kasus.
Untuk itu, perusahaan harus peduli kepada masyarakat dengan memberikan berbagai program akomodatif dengan tujuan meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Di lain sisi, perusahaan akan mendapatkan citra positif dari masyarakat dan media karena kepeduliannya dengan masyarakat.
Planet
Ketiga, yaitu planet yang merujuk pada aspek lingkungan hidup. Tidak dapat dipungkiri jika lingkungan menjadi harga mahal yang harus digadaikan dari proses industrialisasi perusahaan.
Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (sustainable development), maka saat ini perusahaan harus memperhatikan aspek lingkungan hidup di tengah kegiatan produksinya. Perusahaan harus ikut menjaga, mitigasi, dan menanggulangi dampak-dampak negatif terhadap lingkungan.
Polusi, pencemaran udara, deforestasi, dan perubahan iklim adalah beberapa dampak nyata dari kegiatan perusahaan. Untuk itu, sudah saatnya perusahaan peduli dan ikut serta sebagai aktor terdepan dalam mengimplementasikan SDGs.
Lalu Kesimpulannya?
Sejarah, definisi, dan substansi dari Triple Bottom Line (TBL) merupakan wawasan yang perlu Anda ketahui untuk memperdalam cakrawala pengetahuan mengenai isu sustainability. Substansi 3P dari TBL harus menjadi referensi utama bagi perusahaan dalam menjalankan kegiatan produksinya.
Baca artikel dari Olahkarsa lain di sini.
Baca Juga: Mengintip Kriteria Pemilihan Peserta dalam PROPER