Triple Bottom Line (TBL) sebagai sebuah konsep pengukuran kinerja perusahaan yang menggambarkan sustainability nyatanya memiliki beberapa permasalahan. Kira-kira apa saja masalah Triple Bottom Line (TBL) yang cukup fundamental?
Artikel dari Olahkarsa ini akan mengulas enam masalah dari TBL yang mencakup beberapa substansi penting. Cari tahu di bawah ini!
Masalah dalam Triple Bottom Line (TBL) yang Wajib Anda Tahu!
Tahukah Anda jika dalam perkembangannya, konsep Triple Bottom Line (TBL) mendapatkan hujanan kritik substansial secara akademis oleh beberapa peneliti dan pengamat. Konsep TBL yang berlandaskan prinsip 3P, yaitu profit, people, dan planet memiliki enam permasalahan multidimensi, yaitu:
1. Konteks Pengukuran
Pertama, permasalahan yang cukup sering ditemukan dalam konsep TBL yaitu dari segi pengukurannya. Karena TBL adalah pengukuran kinerja perusahaan yang berlandaskan sustainability, maka letak kendalanya yaitu pada konteks pengukurannya yang dapat dibedah menjadi dua poin.
Yang pertama, adanya ketiadaan satuan ukuran yang linier pada setiap variabel dalam TBL. Hal ini berimplikasi terhadap alternatif pada interval pengukuran variabel satuan, seperti moneter, indeks, dan satuan lainnya.
Lalu poin kedua adalah pada kompleksitas usaha pengukuran yang membutuhkan interval waktu yang relatif panjang pada dimensi sosial dan lingkungan. Tentu hal ini cukup kontradiktif dengan dimensi ekonomi yang cenderung lebih mudah karena berlandaskan angka statistik.
2. Sifat dari Triple Bottom Line (TBL)
Kedua, permasalahan dari konsep TBL terletak pada sifat laporannya yang terlalu naratif dan deskriptif. Menurut Bouten (2011), laporan TBL yang disusun hanya fokus pada penggambaran secara deskriptif dari setiap program yang terealisasi dan implikasinya terhadap dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Karena hal ini, maka laporan TBL selalu mengandung narasi-narasi positif yang memperbaiki citra perusahaan tanpa menggambarkan permasalahan yang terjadi. Sehingga muncul rasa skeptis dari laporan TBL yang kurang komprehensif dan representatif.
3. Belum Terstandarisasi dengan Jelas
Ketiga, permasalahan dari TBL terletak pada belum ada standarisasi yang jelas terkait pada laporan inti dan penegakannya. Sederhananya, hal ini berkaitan dengan sistem audit laporan TBL yang menjadi prosedur wajib.
Menurut Christofi (2012) belum adanya standarisasi yang jelas disebabkan oleh proses yang masih menggantung dan stagnan di fase perkembangan. Dampaknya cukup jelas, yakni munculnya diferensiasi format dan isi dari laporan TBL pada beberapa perusahaan.
Di sisi lain, Global Reporting Initiative (GRI) belum mampu menjadi landasan yang konkret dan jelas bagi penyusuan laporan TBL. Alasannya, GRI tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah teknis yang berada dalam penyusuan laporan TBL.
4. Laporan yang Tidak Representatif
Keempat, laporan TBL dirasa kurang merepresentasikan suatu isu tertentu yang ada di internal perusahaan. Menurut Othman dan Ameer (2009), laporan TBL diinterpretasi sebatas instrumen normatif untuk mempercantik citra atau branding perusahaan di kalangan stakeholder.
Laporan TBL juga dianggap kurang merangkul pihak stakeholder yang sebenarnya memiliki peranan sentral di perusahaan. Dampak yang terjadi adalah bias substansi dari laporan dan berkorelasi terhadap kurang berkualitasnya laporan TBL yang telah disusun.
5. Bias Antara Laporan Triple Bottom Line (TBL) dengan Laporan Keuangan
Kelima, laporan TBL yang merangkum kinerja perusahaan dalam segi ekonomi, sosial, dan lingkungan tidak memiliki diferensiasi yang gamblang dengan laporan keuangan. Isi dari laporan TBL banyak menuturkan terkait poin ekonomi atau finansial sehingga diduga mirip dengan laporan ekonomi konvensional.
Mengutip dari Smith dan Sharicz (2011) bahwa hal ini ditengarai oleh konstruksi sosial yang masih memisahkan antara ketiga poin dari TBL, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Padahal ketiga poin tersebut sifatnya satu kesatuan dan tidak terpisahkan dari segi substansi serta laporan.
6. Kelemahan dari Global Reporting Initiative (GRI)
Keenam, yaitu terletak pada kelemahan Global Reporting Initiative (GRI) yang cukup terlihat. Sebagai pedoman dalam menyusun laporan TBL, GRI dianggap kurang memiliki definisi konseptual terkait sustainability maupun sustainability development.
Atas dasar hal ini, terjadi simplifikasi makna dan berkorelasi terhadap kurang terintegrasinya konteks sustainability dengan praktiknya. Oleh sebab itu, kelemahan GRI memiliki efek domino yang berakibat pada regresi kualitas dan impact dari laporan TBL.
Lalu Apa Kesimpulannya?
Dari penjelasan mengenai masalah Triple Bottom Line (TBL) di atas, maka dapat dipahami jika konsep ini masih terus berkembang dan tidak luput dari beberapa kritik substansial dari beberapa akademisi. Namun yang terpenting, konsep TBL masih menjadi terobosan yang luar biasa terhadap laporan perusahaan dengan poin 3P nya.
Ayo baca artikel dari Olahkarsa mengenai CSR, SDGs, Community Development, PROPER, dan lain-lain di sini.