Environmental, Social, and Governance (ESG) muncul sebagai respon untuk mendorong transformasi strategi bisnis menuju ke arah yang tidak hanya memperhatikan faktor-faktor finansial, namun juga lingkungan, sosial dan tata kelola untuk menilai keberhasilan sebuah bisnis. Hal ini dipicu oleh hadirnya berbagai tantangan pada tatanan global seperti krisis iklim, degradasi lingkungan.
Baca Juga: Apa itu ESG?
Hal tersebut mendorong berbagai sektor termasuk sektor bisnis untuk merespon dan beradaptasi menyesuaikan diri dengan tantangan tersebut. Terlebih, sektor bisnis dianggap telah berkontribusi besar pada munculnya berbagai tangan global khususnya perubahan iklim.
Dengan menerapkan ESG, perusahaan dapat menunjukkan komitmen lingkungan, sosial, dan tata kelola, sehingga mampu membangun reputasi positif di hadapan pemangku kepentingan. Langkah ini pada akhirnya dapat berdampak positif terhadap kinerja keuangan dan profitabilitas. Oleh karena itu, penerapan ESG dalam strategi bisnis adalah upaya untuk mewujudkan bisnis yang berkelanjutan.
Namun dalam pelaksanaannya, perusahaan sering kali mengalami miskonsepsi tentang pengimplementasian ESG dalam perusahaan mereka. Beberapa miskonsepsi yang kerap kali muncul di antaranya adalah sebagai berikut:
1. ESG Hanya Dilakukan untuk Memenuhi Regulasi
Miskonsepsi pertama yang kerap kali muncul adalah ESG hanya dipandang sebagai tuntutan regulasi. Yakni bahwa perusahaan hanya melibatkan diri dalam praktik ESG karena adanya tekanan dari pihak regulator/pemerintah. Akibatnya, ESG dianggap sebagai beban tambahan yang harus dipenuhi oleh perusahaan, tanpa memahami secara menyeluruh nilai dan manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan prinsip-prinsip ESG.
Yang lebih parah, praktik-praktik ESG tersebut sering kali digunakan sebagai alat untuk greenwashing, dimana perusahaan mencoba menampilkan diri mereka sebagai berkelanjutan tanpa melakukan perubahan yang signifikan dalam operasi atau kebijakan mereka.
Padahal, ESG dibuat untuk menuntun perusahaan menuju ke arah keberlanjutan. Banyak manfaat yang akan didapatkan ketika perusahaan menerapkan ESG, diantaranya penigkatan revenue dan profitabiitas, peningkatan reputasi, daya saing, akses ke modal, dan hubungan yang lebih baik dengan pemangku kepentingan.
2. Fokus ESG yang Tidak Akurat
Banyak perusahaan cenderung terjebak dalam pandangan sempit bahwa ESG hanya berkaitan dengan beberapa indikator kinerja tertentu, misalnya faktor lingkungan. Banyak perusahaan yang menganggap bahwa hanya dengan mengadopsi beberapa praktik ESG, mereka sudah dapat dikatakan sebagai perusahaan yang berkelanjutan.
Padahal ESG adalah tentang memperhitungkan faktor-faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola secara holistik dalam pengambilan keputusan. Bukan sekadar memenuhi kriteria tertentu atau mengejar target-target terpisah.
Akibatnya, fokus yang tidak akurat terhadap indikator-indikator ESG dapat mengarah pada keputusan yang tidak seimbang atau tidak efektif dalam jangka panjang. Perusahaan mungkin mengorbankan aspek-aspek ESG yang kurang terukur secara langsung namun penting, demi mencapai target-target numerik yang lebih mudah diukur.
3. Memisahkan ESG dari Proses Bisnis
Miskonsepsi lain adalah memisahkan ESG dari proses dan strategi bisnis. Akibatnya, implementasi ESG hanya dikelola oleh departemen keberlanjutan atau tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tanpa keterlibatan langsung dari top management dan seluruh unit bisnis.
Padahal, untuk memaksimalkan dampak positif dan mengintegrasikan prinsip-prinsip ESG ke dalam keputusan bisnis, perusahaan seharusnya memperlakukan ESG sebagai bagian integral dari strategi bisnis mereka.
4. Pengkungkapan Keberlanjutan yang Tidak Berhubungan/Terkait Konteks Industri
Setiap jenis industri memiliki standar pengungkapan yang berbeda-beda. Misalnya, pengungkapan keberlanjutan dengan standar Global Reporting Initiative (GRI) antara perusahaan tambang tentu berbeda dengan perusahaan manufaktur. Dalam beberapa kasus, perusahaan kurang tepat menggunakan indikator pengungkapan ini.
Akibatnya, pengungkapan tersebut mungkin tidak memberikan gambaran yang akurat atau bermakna tentang kinerja keberlanjutan perusahaan dalam konteks industri mereka. Hal ini dapat membingungkan bagi pemangku kepentingan, seperti investor atau konsumen, yang mencari informasi yang relevan untuk membuat keputusan yang tepat.
Maka, perusahaan perlu mempertimbangkan dengan cermat penggunaan standar pengungkapan yang sesuai dengan jenis industri mereka. Hal ini akan membantu memastikan bahwa informasi yang disediakan benar-benar relevan dan bermanfaat bagi pemangku kepentingan. Serta dapat mendukung upaya perusahaan dalam meningkatkan kinerja keberlanjutan mereka.
5. Menyamakan ESG dengan CSR
Miskonsepsi kelima adalah menyamakan ESG dengan CSR. Hal ini tentu keliru sebab ESG dan CSR adalah dua hal yang berbeda. Meskipun antara ESG dan CSR memiliki keterkaitan yang cukup erat, praktik CSR hanya sebagian kecil dari ESG. ESG meliputi tiga dimensi yang saling terkait yakni faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan. CSR bahkan hanya sebagian kecil saja dari faktor sosial ESG.
Baca Juga: ESG, CSR, SDGs: Apa Bedanya? Mana yang Terbaik?
Maka dari itu, untuk menerapkan ESG, perusahaan tidak cukup hanya dengan membuat program CSR saja. Namun perlu melakukan praktik bisnis lain yang berkaitan dengan unsur lingkungan dan tata kelola.
6. Lemahnya Fondasi ESG
Miskonsepsi selanjutnya adalah lemahnya fondasi ESG. Fondasi ESG meliputi ketiadaan kebijakan atau komitmen dari manajemen puncak, kurangnya dukungan dari sumber daya manusia (SDM), ketiadaan unit yang bertanggung jawab sebagai leading ESG, dan “ESG Action” yang tidak didahului dengan penilaian internal. Perusahaan terlalu cepat ingin menunjukkan kinerja ESG mereka kepada publik, namun lupa untuk membangun fondasi yang kokoh dari ESG itu sendiri.
Akibatnya, upaya perusahaan dalam mengadopsi praktik ESG cenderung menjadi terfragmentasi dan kurang efektif. Tanpa keberadaan kebijakan dan komitmen yang jelas dari top level management, perusahaan kehilangan arah dan fokus yang diperlukan untuk mengintegrasikan ESG ke dalam budaya dan operasi mereka.
7. ESG Hanya Tentang Kinerja Lingkungan
Miskonsepsi Terakhir tentang Environmental, Social, and Governance (ESG) adalah pandangan bahwa ESG hanya berkaitan dengan aspek kinerja lingkungan. Secara umum, ESG mencakup tiga dimensi yang saling terkait: lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan.
Banyak perusahaan mengasosiasikan ESG hanya dengan isu-isu lingkungan seperti pengelolaan limbah, pengurangan emisi karbon, dan pelestarian sumber daya alam. Meskipun ini adalah bagian integral dari ESG, fokus ini tidak mencakup keseluruhan kinerja ESG. Sosial dan tata kelola perusahaan juga memiliki peran yang sama pentingnya dalam kerangka kerja ESG. Memahami keseluruhan dimensi ESG membantu perusahaan dan investor untuk membuat keputusan yang lebih holistik dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Dalam menghadapi miskonsepsi seputar ESG, perusahaan harus mengambil langkah-langkah proaktif dalam memperbaiki pemahaman dan implementasi praktik ESG. Hal mencakup pendekatan holistik yang melibatkan top level management, keterlibatan seluruh unit bisnis, serta komitmen untuk membangun fondasi yang kokoh dalam strategi bisnis yang berkelanjutan melalui ESG.