Pandemik COVID-19 setidaknya telah membuka jalan bagi digitalisasi untuk memberikan dampak yang eksponensial tidak hanya terhadap pendidikan, namun secara masif terhadap roda perekonomian baik lokal atau global. Digitalisasi dan keberlanjutan adalah dua dimensi dengan kapasitas inovasi yang berbeda terhadap model bisnis namun saling terkait. Terkait berarti digitalisasi dapat menopang keberlanjutan sebagaimana kesinambungan dapat mempertahankan digitalisasi. Transformasi inovasi berlatar keduanya perlu mempertimbangkan kelayakan berkelanjutan agar tidak hanya perusahaan, namun juga pelanggan dan masyarakat mendapatkan manfaat darinya. Acciarini et al. (2022) menemukan bahwa banyak perusahaan dan pelanggan sadar akan konsekuensi yang luar biasa dari digitalisasi; namun, mereka masih belum yakin mengenai adopsi teknologi baru yang sebenarnya.
Analisis menunjukkan bahwa perusahaan yang lebih matang secara digital memiliki tingkat pertumbuhan pendapatan enam kali lebih tinggi daripada pesaing mereka yang kurang terdigitalisasi. Dampak positif dari hal ini tidak hanya dalam hal kinerja ekonomi; karyawan di perusahaan-perusahaan yang sudah maju secara digital juga melaporkan indeks kesejahteraan di tempat kerja yang 50% lebih besar (Roland Berger dan BDI, 2015). Digitalisasi dapat menghasilkan peningkatan efisiensi sebesar 20% dan peningkatan pendapatan sebesar 20% di tahun-tahun mendatang (Parida et al., 2019). Terlepas dari beberapa keuntungan yang dihasilkan oleh teknologi, ada juga beberapa kekhawatiran, terutama terkait risiko bahwa otomatisasi dapat menggantikan tenaga kerja yang ada, bahwa potensi ketidaksetaraan yang terkait dengan kesenjangan digital dapat meningkat, serta kesehatan dan keamanan publik dapat terganggu (Manyika et al., 2017).
Di sisi lain, kegagalan proses digitalisasi dapat menyebabkan potensi kerugian hingga 605 miliar euro bagi industri Eropa. Digitalisasi juga memengaruhi cara perusahaan mengelola hubungan mereka dengan para pemangku kepentingan (Majchrzak et al., 2016). Bahkan, aspek lain yang muncul adalah perhatian terhadap tiga pilar keberlanjutan: ekonomi, sosial, dan lingkungan (Cappa et al., 2020). Secara umum, efek potensial dari teknologi digital baru mengarah pada keselarasan yang lebih baik dengan kebutuhan masyarakat. Selain mesin otomatis dapat mengurangi emisi dan limbah (Bohnsack et al., 2014); big data dapat memberikan kemajuan dalam industri seperti perawatan kesehatan, pertanian, energi, pendidikan, dan mobilitas, sehingga menghasilkan sumber daya berharga yang secara positif terkait dengan kinerja perusahaan (Cappa et al., 2020).
Perhatian tidak hanya terpusat pada kinerja ekonomi tetapi juga pada pilar sosial dan lingkungan dari keberlanjutan. Faktanya, setiap perusahaan, dan juga kerangka kerja regulasi, lebih memperhatikan isu-isu lingkungan hidup karena dampak negatif secara keseluruhan yang memiliki implikasi sosial (Intergovernmental Panel on Climate Change, 2014). Selain itu, masalah lingkungan dan sosial merupakan isu-isu penting yang harus diintegrasikan ke dalam pandangan holistik tentang keberlanjutan perusahaan (Joyce dan Paquin, 2016). Dalam konteks yang bergejolak, yang ditandai dengan digitalisasi dan fokus pada keberlanjutan, perusahaan perlu mengembangkan model bisnis yang tepat untuk menciptakan dan menangkap value (Zott dan Amit, 2017).
Transformasi Digital
Digitalisasi dan transformasi digital lebih terlihat dalam hal perpaduan dan integrasinya dengan sistem fisik dan digital selama pandemi karena COVID-19 meningkatkan gesekan masyarakat terhadap masa-masa sulit dan tidak pasti serta mempercepat proses transformasi digital yang tidak bisa dihindari (Savastano et al., 2022). Banyak perusahaan terpaksa mengadopsi praktik kerja internal baru dan merasakan tekanan yang kuat untuk menawarkan produk melalui saluran digital. Mereka mengalami perubahan besar dan dalam waktu yang sangat singkat mengimplementasikan solusi berbasis teknologi digital. Pada tahap ini, penting untuk mulai berpikir tentang dunia pasca COVID-19 dan, terutama, untuk mengeksplorasi bagaimana kita dapat memanfaatkan dan mengubah tantangan ini menjadi peluang baru, baik dalam bisnis maupun organisasi internal.
Faktanya, tantangan yang ditimbulkan oleh transformasi digital, telah muncul sebelum munculnya COVID-19, dan pada dasarnya terfokus pada revolusi industri keempat, yang terkait dengan konsep Industri 4.0, Internet of Things (IoT), dan Web 4.0. Tantangan yang dihadapi adalah disrupsi konsep dan teknologi, serta kecepatan transformasi digital ini. Di era COVID-19, tantangan-tantangan tersebut semakin terlihat, dan sangat penting untuk melibatkan seluruh organisasi dan pemangku kepentingan dalam proses ini (Almeida et al., 2020).
Hambatan Transformasi Digital
Transformasi Digital diperkirakan akan memiliki dampak besar pada berbagai cabang dan bahkan masyarakat. Dalam industri manufaktur, proses penciptaan nilai berubah ketika teknologi informasi dan komunikasi menyatu dengan proses produksi. Perubahan ini memungkinkan terjadinya peningkatan efisiensi dan model bisnis baru. Namun, banyak perusahaan masih kesulitan untuk mengembangkan transformasi digital sehingga memahami hambatan yang menghalangi atau bahkan menghentikan adalah sangat penting untuk keberhasilan eksekusi transformasi. Vogelsang et al. (2019) menyimpulkan penghambat utama transformasi dalam gambar berikut.

Sousa & Rocha (2019) menyatakan bahwa keterampilan utama untuk transformasi digital yang efektif adalah adanya optimalisasi terhadapa kecerdasan buatan, nano teknologi, robotisasi, internet of things, augmented reality, digitalisasi; dan konteks pembelajaran digital yang utama adalah teknologi seluler, tablet, dan aplikasi ponsel pintar. Brunetti et al. (2020), sejalan dengan Vogelsang et al. (2019), menjelaskan lebih detil tentang langkah-langkah strategis yang dibutuhkan dalam transformasi digital pada gambar 1. Lebih lanjut, ia menyimpulkan bahwa intervensi yang berdiri sendiri tidak cukup untuk mengatasi transformasi digital dari perspektif sistemik dan kontribusi potensial dari setiap kategori pemangku kepentingan untuk mendorong digitalisasi perlu dievaluasi dan dioptimalkan.

Baca lainnya: Apakah Transformasi Digital & Transisi Sistem Energi Menipiskan Intensitas Karbon Perusahaan & Industri?
Kesiapan Indonesia dalam Digitalisasi dan Keberlanjutan Bisnis
Penetrasi Internet
Indonesia adalah yang tertinggi di ASEAN dengan lebih dari 80% total populasi dapat mengakses internet, lebih dari 100 juta pengguna sosial media dan lebih dari 50 juta pengguna e-commerce. Sedangkan rasio pertumbuhan pasar e-commerce sedikit di atas 20% per tahunnya. Pemasaran digital, khususnya melalui Google Ads, Facebook Ads dan Instagram Ads, juga
mendapati rasio yang sama. Selain fokus pada transisi energi berkelanjutan, Indonesia juga memiliki Permintaan untuk pembiayaan berkelanjutan terus meningkat.
Menurut laporan e-Conomy SEA 2022, ekonomi digital Indonesia pada tahun 2022 akan mencapai GMV US$77 miliar, dan diproyeksikan akan mencapai US$130 miliar pada tahun 2025 dengan CAGR 19%. Pada tahun 2030, diperkirakan akan tumbuh lebih dari tiga kali lipat, menjadi US$220 miliar hingga US$360 miliar. Di tengah faktor eksternal dan tantangan ekonomi global, estimasi kenaikan GMV ini menjadi feasible karena eksistensi startup yang tangguh dan para pendirinya terus menawarkan berbagai solusi inovatif yang berdampak positif pada masyarakat.
Pengembangan infrastruktur dan teknologi digital
Melalui Menteri Komunikasi dan Informatika, ada 3 tujuan utama yang akan direalisasikan yaitu pembangunan infrastruktur hulu yang lengkap, pusat data nasional (PDN), dan Balai Besar Pengujian Perangkat Telekomunikasi (BBPPT). Lebih lanjut, untuk menunjang operasional untuk infrastruktur digital hulu, kabel serat optik, Base Transceiver Station (BTS) akan dibangun, serta satelit SATRIA-1 dan Hot Backup Satellite (HBS) akan segera dioperasikan pada kuarter kedua tahun 2023.
Pemerintah
Melalui Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, menargetkan 30 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di seluruh Indonesia mengadopsi digitalisasi pada tahun 2023 untuk mengembangkan bisnis mereka. Saat ini tercatat 19 juta UMKM yang sudah masuk ke dalam ekosistem digital dan 11 juta UMKM lainnya yang sudah mengantre untuk mengadopsi digitalisasi. Digitalisasi ekonomi di Indonesia, selain telah menghasilkan sembilan unicorn, ada dua Decacorn, atau perusahaan dengan kapitalisasi pasar di atas US$10 miliar, yaitu J&T Express dan GoTo.
Diantara upaya integrasi digital terlihat pada awal pandemik, perusahaan-perusahaan di Indonesia telah mentransformasikan program CSR mereka menjadi lebih digital demi memperluas upaya pemulihan ekonomi. Program CSR tersebut mencakup pelatihan bisnis digital untuk masyarakat, pelatihan pemasaran digital untuk MSMEs dan pelatihan-pelatihan lain dengan tujuan meningkatkan kapasitas publik dalam menggunakan teknologi digital sebagai salah satu sumber pendapatan saat pandemik (Irawan et al., 2022).
Digitalisasi di Indonesia juga telah dilakukan dalam pengelolahan limbah. Kurniawan et al., 2022 menemukan industri pengelolahan limbah mendorong masyarakah menjual sampah mereka secara online melalui Rapel app. Digitalisasi dalam pengaturan sampah ini meningkatkan rasio pengurangan sampah hingga 65%.
Tantangan Indonesia dalam Digitalisasi dan Keberlanjutan Bisnis
Meskipun terdapat tantangan global berupa resesi global yang akan datang, tren pemulihan ekonomi dapat menjadi stabil, terutama di Indonesia. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional yang kuat di Indonesia pada tahun 2023 pada kisaran 4,5-5,3% sebelum meningkat menjadi 4,7%-5,5% pada tahun 2024 karena peningkatan konsumsi swasta, investasi, dan kinerja ekspor yang baik. Namun demikian, terlepas dari kenyataan bahwa prospek ekonomi Indonesia pada tahun 2023 cukup menjanjikan, tetap saja masih diperlukan kewaspadaan. Lanskap bisnis Indonesia mungkin akan menghadapi beberapa tantangan di tahun 2023-karena faktor-faktor seperti inflasi, suku bunga yang lebih tinggi, rantai pasokan global yang terganggu, dan dampak perang Rusia-Ukraina yang terus berlanjut, sebagaimana tersebut di gambar 2.

Dari 10 ekonomi terbesar di Asia-Pasifik, Indonesia menempati posisi terakhir dalam ketersediaan dan jangkauan 5G. Karena geografi yang tersebar, Indonesia menghadapi tantangan tambahan untuk menjembatani kesenjangan digital dengan wilayah perbatasan yang kurang berkembang.
Kecepatan pengimplementasian 5G relatif lambat karena topografi kepulauan negara, peraturan, dan hambatan yang dihadapi operator jaringan seluler dalam menyediakan layanan kepada konsumen, vertikal, atau perusahaan. Jika Indonesia dapat melewati tantangan ini dan beralih ke jaringan yang benar-benar berbasis cloud dengan mengandalkan platform dan proses web-scale, hal ini bisa menjadi perubahan besar – Indonesia akan dapat efektif memberikan layanan apa pun yang diperlukan, kapan pun diperlukan, dan kepada siapa pun yang membutuhkannya.
Generasi jaringan berikutnya, 5G juga mengubah jenis layanan yang dapat ditawarkan bisnis, karena perpindahan ke arsitektur 5G yang berbasis cloud memungkinkan mereka untuk memanfaatkan layanan konektivitas yang disesuaikan. Ini memberikan laten yang lebih rendah, throughput yang lebih tinggi, dan kualitas yang lebih baik saat diperlukan. Faktanya, 5G dapat menambahkan 18 hingga 22 persen ke pendapatan perusahaan, dan 6 hingga 9 persen ke pendapatan konsumen pada tahun 2025.
Kesimpulan
Demi keberlanjutan bisnis dan integrasi yang pesat dengan digitalisasi, pemerintah Indonesia harus memfokuskan pada penanganan infrastruktur digital yang memadai, keterampilan digital, dan akses ke berbagai inisiatif digitalisasi UMKM yang telah dimulai oleh pemerintah. Ketika membahas digitalisasi UMKM, seperti yang diungkapkan oleh Priyono et al. (2020), terdapat tiga model transformasi digital yang harus dipertimbangkan:
- UMKM dengan tingkat kematangan digital yang tinggi: menggunakan teknologi digital untuk mendigitalisasi organisasi;
- UMKM yang mengalami kendala likuiditas tetapi memiliki tingkat kematangan digital yang rendah: menggunakan teknologi digital hanya untuk tujuan penjualan dan pemasaran, dan;
- UMKM dengan literasi digital terbatas tetapi memiliki modal sosial yang tinggi: menggunakan teknologi digital untuk berkolaborasi dengan pihak lain yang memiliki literasi digital yang tinggi.
Dalam konteks Indonesia, sebagian besar UMKM yang telah terdigitalisasi tidak memiliki keterampilan digital yang tinggi. Adopsi teknologi digital untuk tujuan produktif di antara UMKM hanya sebesar 22,55%. Oleh karena itu, mengacu pada klasifikasi model transformasi digital yang dikembangkan oleh Priyono dkk., sebagian besar UMKM terdigitalisasi di Indonesia berada dalam kategori kedua
Untuk memanfaatkan potensi penuh dari UMKM yang terdigitalisasi, para pelaku UMKM harus didorong untuk menggunakan teknologi digital di luar tujuan pemasaran. UMKM harus dapat menggabungkan teknologi digital untuk tujuan lain, seperti memberikan pengalaman konsumen yang lebih baik, mengembangkan lebih banyak produk dan usaha bisnis, serta membangun jaringan yang solid.
Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia tidak hanya terkait dengan aspek teknis digitalisasi. Namun, tantangan yang terkait dengan kurangnya literasi digital lebih berbahaya di antara UMKM di luar wilayah Jawa-Bali. Dengan 4G saat ini menjadi tulang punggung konektivitas seluler di Indonesia, beralih ke 5G dapat memacu ekonomi digital negara melalui peningkatan kecepatan, laten, keandalan, dan efisiensi, sambil akhirnya menawarkan keuntungan biaya lebih dari 4G.
Untuk negara kepulauan seperti Indonesia, 5G FWA dapat memberikan internet berkecepatan tinggi ke daerah-daerah di mana kabel tidak dapat mencapai dengan menggunakan gelombang radio untuk mentransfer data ke dan dari perangkat konsumen. Jika konektivitas cepat dapat disampaikan di daerah yang tidak dilayani dan daerah tanpa infrastruktur, semua orang akan dapat berpartisipasi dalam peluang ekonomi dan menjadi bagian dari ekonomi yang terglobalisasi.