“Green Economy” atau ekonomi hijau menjadi sebuah hal yang penting untuk diterapkan di Indonesia saat ini. Selain karena krisis iklim yang sudah berada di depan mata, juga untuk menghindari “jebakan pendapatan menengah” pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Jebakan ekonomi menengah atau “midle income trap” adalah suatu kondisi di mana suatu negara mengalami stagnasi atau terjebak dalam kondisi yang membuat mereka tidak bisa maju. Kondisi ini disebabkan oleh kurang kompetitifnya suatu negara dalam bidang industri. Singkatnya, negara-negara ini tidak bisa mengikuti tren dan persaingan perekonomian global.
Green economy atau ekonomi hijau adalah salah satu tren ekonomi yang sedang dibangun negara-negara di dunia terutama negara maju. Lahirnya kecenderungan pada green economy ini dilatar belakangi oleh kondisi global yang yang tengah berada dalam ancaman krisis iklim.
Baca Juga: Ancaman Nyata Krisis Iklim Bagi Keberlanjutan Dunia Bisnis
Di satu sisi umat manusia membutuhkan pertumbuhan ekonomi sebagai penggerak kehidupan mereka. Namun disisi lain mereka juga harus memperhatikan lingkungan yang saat ini telah tercemar oleh emisi dan limbah, serta kerusakan pada ekosistem. Dari sinilah lahir sebuah konsep yang disebut dengan green economy atau ekonomi hijau.
Apakah itu Green Economy?
Green economy atau ekonomi hijau adalah suatu gagasan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan keberlanjutan ekonomi, sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan. Ekonomi hijau ini dapat juga diartikan sebagai perekonomian yang rendah emisi karbon dioksida, hemat sumber daya alam, dan berkeadilan sosial.
Program ekonomi hijau berupaya melakukan transformasi sistem perekonomian menuju perekonomian yang memancarkan gas rumah kaca lebih sedikit sekaligus mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Pembangunan ekonomi hijau adalah jenis pembangunan ekonomi yang mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang sejalan dengan komitmen dan tren global. Bagi Indonesia, ekonomi hijau adalah upaya untuk keluar dari jebakan midle income trap atau jebakan pendapatan menengah yang saat ini berada dalam bayang-bayang Indonesia.
Waktu Indonesia Hanya Tinggal 13 Tahun Lagi!
13 tahun adalah waktu yang tersisa bagi Indonesia untuk menyukseskan green economy ini. Hal ini berkaitan dengan puncak bonus demografi yang akan diraih oleh Indonesia yang diprediksi akan terjadi pada tahun 2030-an. Bonus demografi adalah suatu keadaan di mana angkatan kerja atau penduduk usia produktif (usia 15-64 tahun) lebih banyak dibanding penduduk usia nonproduktif (usia 65 tahun ke atas).
Bonus demografi sangat krusial bagi penentuan nasib ekonomi Indonesia ke depan yakni melepaskan dari jebakan pendapatan menengah. Apabila gagal memanfaatkan momen ini, Indonesia akan gagal menjadi negara maju alias terjebak dalam midle income trap. Hal ini disampaikan langsung oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo yang dikutip dari CNBC Indonesia (18/5/2023).
“Kesempatan kita hanya ada pada 13 tahun, karena bonus demografi kita muncul di tahun 2030-an. Dalam sejarah negara-negara, kesempatannya hanya sekali,” ujarnya.
Maka dari itu, menjadi sebuah keharusan bagi Indonesia untuk memanfaatkan waktu 13 tahun ini untuk melakukan akselerasi green economy sebagai upaya untuk keluar jebakan midle income trap dan melewati bonus demografi ini sebaik-baiknya agar Indonesia benar-benar menjadi negara maju. Dan tentu yang paling penting adalah dalam rangka mencegah terjadinya krisis iklim dan kerusakan lingkungan.
3 Upaya Akselerasi Green Economy
Untuk mendorong akselerasi green economy ini, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Vice President Corporate Communication Sintesa Group, Inka Prawirasasra dalam CSR Outlook Leadership Forum 2023, Selasa (25/07/2023).
1. Membangun SDM Unggul
Adanya program green economy diproyeksikan akan menciptakan lapangan kerja baru dibidang industri hijau sebanyak 1,8 juta “green job“. Lapangan kerja tersebut tersebar di berbagai sektor industri seperti industri kendaraan listrik, industri energi baru terbarukan (EBT), restorasi lahan, dan sektor pengelolaan limbah pada tahun 2030.
Perubahan lanskap perekonomian dan transformasi dunia kerja menuju green economy yang rendah karbon tersebut tentu membutuhkan kesiapan SDM yang kuat dan kompeten. Kesiapan SDM ini adalah hal yang sangat penting dan menjadi pondasi utama bagi implementasi green economy.
Upaya membangun SDM unggul ini dapat dilakukan melalui peningkatan skill dan kolaborasi berbagai stakeholder serta link and match antara dunia pendidikan dengan industri hijau.
2. Mendorong Penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT)
Langkah kedua untuk mendorong akselerasi green economy adalah mendorong penerapan energi baru terbarukan secara masif di berbagai sektor. Transisi energi menuju EBT ini adalah dalam rangka mengakhiri ketergantungan pada energi fosil yang sifatnya terbatas dan menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi karbon.
Baca Juga: Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam Upaya Transisi Energi
Untuk mendorong hal ini, pemerintah perlu mengadopsi kebijakan dan regulasi yang mendukung masifnya perkembangan EBT. Seperti memberikan insentif fiskal bagi bisnis yang berkomitmen pada praktik ramah lingkungan, mengalokasikan dana untuk riset dan inovasi teknologi EBT, dan memberikan subsidi bagi produk teknologi EBT..
Selain itu, membangun kemitraan antara sektor swasta, akademisi, dan organisasi non-pemerintah akan mempercepat penerapan EBT. Dengan cara memanfaatkan sumber daya yang ada secara kolaboratif guna menciptakan ekonomi hijau yang lebih berdaya saing dan berwawasan lingkungan.
3. Membangun Industri Hijau
Langkah ketiga untuk mendorong akselerasi green economy adalah dengan membangun indsutri hijau. Beberapa penopang sektor industri hijau ini antara lain industri energi baru terbarukan (EBT), infrastruktur hijau, dan kendaraan listrik.
Pembangunan industri hijau ini tentu membuktikan biaya dan investasi yang tidak sedikit. Maka untuk merangsang datangnya investasi dalam industri hijau ini pemerintah harus melakukan berbagai upaya. Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal dan dukungan finansial kepada perusahaan yang berinvestasi dalam teknologi hijau dan praktik ramah lingkungan. Insentif fiskal ini bisa berupa pengurangan pajak ataupun bunga perbankan.
Selain insentif dan dukungan kepada investor, yang tidak kalah penting adalah sinergi multistakeholder antara pemerintah, swasta, akademisi dalam menyiapkan skill SDM yang kompeten serta mengembangkan inovasi dan teknologi hijau.
Melalui kerja sama yang erat ini, industri hijau dapat menjadi motor penggerak ekonomi yang berkelanjutan, menciptakan lapangan kerja baru, dan menghasilkan produk dan layanan yang lebih ramah lingkungan bagi masyarakat.
Kesimpulan
Akselerasi green economy menjadi sebuah keharusan bagi Indoensia agar bisa keluar dari jebakan midle income trap dan juga mencegah terjadinya krisis iklim. Untuk mewujudkan ini, perlu adanya kolaborasi lintas stakeholder dari berbagai pihak guna mendukung implementasi green economy ini.
Referensi
Global Green Growth Institute. (2015). Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi Hijau untuk Indonesia yang Sejahtera: Sebuah Peta Jalan untuk Kebijakan, Perencanaan, dan Investasi.
Makmun. 2016. “Green Economy: Konsep, Impelentasi Dan Peran Kementerian Keuangan”. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan 19 (2), 1-15.
Pemaparan materi dari Inka Prawirasasra-Vice President Corporate Communication Sintesa Group dengan tema: “Accelerating Indonesia’s Green Economy” dalam CSR Outlook Leadership Forum 2023.