Mengapa perusahaan membutuhkan pola pikir value-focused untuk mencapai sustainability goals?
Ini bukan topik baru. Faktanya, ini telah menjadi agenda selama bertahun-tahun, seringkali menjadi konten yang menarik dan merangsang untuk tujuan pemasaran, tetapi tanpa fokus skala besar yang kita lihat saat ini.
Dengan dimulainya Covid-19 pada tahun 2020, perusahaan membutuhkan pola pikir value-focused untuk mencapai sustainability goals. Pertama, pandemi menunjukkan bahwa masyarakat memiliki potensi besar untuk tindakan kolektif dan perubahan ketika menghadapi keadaan darurat.
Ketika Covid melanda, perusahaan di semua industri harus menemukan kembali cara mereka beroperasi hampir dalam semalam
Ini sangat bermasalah bagi perusahaan. Terutama ketika dihadapkan dengan penawaran dan permintaan saat menghadapi tantangan menata ulang lantai toko mereka, untuk memastikan lingkungan yang aman di antara para pekerja. Situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya menunjukkan bahwa perubahan mendadak itu mungkin dapat berdampak positif pada lingkungan pada saat yang sama. Misalnya, tentang penghentian perjalanan jauh yang tiba-tiba, yang dapat menyebabkan penurunan tajam dalam emisi CO2 di tempat-tempat paling padat di dunia.
Di sisi lain, pandemi juga mempercepat peralihan ke produksi berkelanjutan berbasis teknologi sebagai bagian dari pemulihan ekonomi, yang perlu mengatasi hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim, dan mempromosikan prinsip-prinsip ekonomi sirkular. Jadi dalam hal ini, 2020 adalah titik balik dan mendorong sustainability ke prioritas utama bisnis bagi banyak perusahaan.
Selain itu, ada berbagai pendorong eksternal yang menekan perusahaan untuk bertindak cepat. Pelanggan dan konsumen sama-sama menjadi semakin haus informasi. Mereka mencari jaminan bahwa produk diproduksi secara berkelanjutan dan, dalam beberapa kasus, bahkan bersedia membayar mahal untuk itu.
Kredensial sustainability menjadi lebih penting
Penelitian Deloitte mengungkapkan bahwa 79% eksekutif perusahaan mengamati peningkatan reputasi merek setelah perusahaan mereka berkomitmen untuk menetapkan target dekarbonisasi. Laporan tersebut juga menyoroti bahwa 80% konsumen mencari produk yang bertanggung jawab secara sosial atau lingkungan. Bila memungkinkan akan beralih merek untuk mendukung tujuan yang baik. Selain itu, dua pertiga konsumen menunjukkan bahwa mereka merasa lebih positif tentang upaya perusahaan untuk mengurangi jejak karbondioksida.
Banyak penelitian memberikan bukti bahwa upaya sustainability terkait langsung dengan kepercayaan konsumen. Di masa depan, kredensial ‘sustainability‘ akan menjadi kriteria seleksi yang semakin penting bagi pelanggan dan konsumen. Dalam beberapa kasus (seperti pada rangkaian produk makanan dan minuman tertentu), konsumen bahkan bersedia membayar mahal untuk jaminan ini.
Kekuatan regulasi sustainability semakin cepat
Namun, agenda sustainability didorong oleh tekanan regulasi dan tujuan global. Ini termasuk Paris Agreementās goal untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5% dibandingkan dengan tingkat pra-industri, European Commissionās mandate untuk menjadi benua nol bersih pada tahun 2050, dan United Nations Sustainable Development Goals (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa). Selanjutnya, COP26 telah membentuk International Sustainability Standards Board (ISSB) baru untuk mengembangkan dasar global untuk standar iklim, masalah lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) lainnya.
Tujuan global ini tidak cukup, perusahaan harus tetap mengikuti peraturan regional, domestik, dan industri khusus. Perkembangan dan sifat tekanan regulasi yang selalu berubah bisa sangat menakutkan. Salah satu perkembangan terbaru di Inggris adalah pajak kemasan plastik baru. Mulai berlaku pada 1 April, tujuan pajak adalah untuk mendorong penggunaan bahan daur ulang dalam produksi kemasan plastik.
Ethical investment (investasi etis) meningkat
Pendorong utama lainnya untuk sustainability adalah meningkatnya perhatian dari komunitas investor. Sementara di masa lalu, faktor ESG (lingkungan, sosial, dan tata kelola) secara historis tertinggal dari faktor finansial dan politik. Selama pandemi, Covid mendorong pergeseran investasi ke bisnis yang ramah lingkungan ketika membuat keputusan bisnis dan keuangan. Investor telah memperhatikan manfaat finansial dari apa yang dilakukannya. Misalnya berinvestasi di perusahaan dan aset dengan skor ESG yang tinggi sering kali menghasilkan pengembalian yang lebih baik dan membawa risiko yang lebih rendah.
Pulse survey
Pada akhir tahun 2021, IFS memulai studi penelitian dengan firma analis teknologi Omdia, mewawancarai 117 perusahaan di Amerika Utara dan Eropa untuk memahami pandangan, ambisi, dan inisiatif mereka seputar sustainability dan ekonomi sirkular (CE).
Salah satu temuan yang paling mengejutkan adalah di mana perusahaan sangat kurang optimal dalam mendekati sustainability. Pendorong utama adalah risiko bisnis (18%), kepatuhan terhadap peraturan (15%), dan insentif keuangan (15%), mengungkapkan pola pikir reaktif dan ketidaksiapan. Sementara perusahaan menyadari bahwa sustainability dapat memberikan lebih banyak manfaat nilai tambah di luar kepatuhan. Contohnya seperti dampak positif pada kepercayaan pelanggan dan reputasi perusahaan. Hal itu tidak dilihat sebagai alasan terpenting untuk bertindak, setidaknya tidak untuk saat ini.
Jadi mengapa beberapa perusahaan hanya diam saja? Menurut penelitian kami, legacy infrastructure, kurangnya tanggung jawab terpusat, dan biaya di muka adalah hambatan terbesar untuk berinvestasi dalam inisiatif sustainability.
Mengambil pendekatan berbasis data
Meningkatnya ekspektasi dan tujuan yang mengikat secara hukum, perusahaan perlu mengatasi beban mereka saat menghadapi digitalisasi. Ini akan membutuhkan pendekatan berbasis data.
Mengapa demikian? Untuk menunjukkan komitmen net-zero mereka kuat dan sah, perusahaan memerlukan akses data yang lebih akurat, terperinci, dan efisien. Perusahaan tidak hanya akan melihat emisi tingkat organisasi tetapi juga emisi granular yang terkait dengan proses perusahaan, pengangkutan bahan mentah dan produk, serta penggunaan dan pembuangan produk saat produk tersebut mencapai akhir masa pakainya.
Seiring berjalannya waktu, pelaporan jenis data granular ini akan menjadi bagian dari menjalankan bisnis. Oleh karena itu pentingnya teknologi sebagai enabler adalah untuk menangkap, membuat katalog, dan berbagi data di seluruh organisasi dan di seluruh rantai nilai organisasi yang lebih luas.
Berfokus pada nilai jangka panjang dari inisiatif sustainability adalah kunci utama
Dengan sustainability initiatives yang masih relatif baru dalam banyak kasus, manfaat yang dapat diwujudkan oleh perusahaan akan terus berkembang. Mereka akan mencapai pengembalian langsung dan berwujud menjadi tidak berwujud, seperti reputasi merek, loyalitas pelanggan, kepuasan kerja, kepatuhan terhadap undang-undang masa depan, biaya asuransi, dll. Sejauh ini, perusahaan perlu mendekati kasus bisnis mereka dengan berfokus pada pengembalian nilai (value-focused) daripada pengembalian investasi, yang biasanya ditujukan untuk menghasilkan hasil yang cepat.
Baca juga:
Cari Tahu! Indikator Global Reporting Initiative (GRI) G4
Apa Itu Global Reporting Initiative (GRI) G4?
Apa itu SDGs Desa? Kenali Program dan Sasarannya!
Itulah mengapa perusahaan membutuhkan pola pikir value-focused untuk mencapai sustainability goals
Bagi kita yang ingin membuat program CSR sebagai strategi bisnis jangka panjang dan ingin mendapatkan lebih banyak pengetahuan dan informasi tentang CSR, langsung saja menujuĀ Olahkarsa. Karena di Olahkarsa tersedia berbagai produk yang menarik untuk solusi manajemen CSR kita semua sekaligus tersedia kelas pelatihan bagi praktisi CSR yaituĀ CSR School. Jadi ayo segeraĀ upgradeĀ bisnis CSR kita sekarang juga.